Minggu, 30 September 2007

Rabu, 26 September 2007

Topik 43: Latihan Surat Al-Ikhlas Ayat 2

Bismillahirrahmanirrahim

Kebetulan pagi ini saya masih menunggu tamu di salah satu Hotel di Kualalumpur (tugas luar kota). Sembari menunggu saya sempatkan untuk membahas Topik 42 dan 43 ini, Insya Allah.

Pada ayat 2, akan digambarkan tentang bagaimana kekuasaan Allah itu Maha Lengkap (tafsir kata Al-Shomad menurut Abu Wa'il).

اللَّهُ الصَّمَدُ - Allahu Al-Shomadu

Perhatikan bahwa struktur kalimat diatas adalah, kalimat sempurna, dimana:
Mubtada: Allahu (lihat ciri-nya yaitu dhommah, sehingga Allahu, bukan Allaha, atau Allahi), dan
Khobar: Al-shomadu (tempat bergantung).

Kata al-Shomad memiliki dua pengertian yaitu: tempat bergantung, yaitu suatu yang cukup dengan sendirinya, dan semua bergantung ke dia. Allah Al-Shomad, artinya: Allah tempat bergantung semua makhluk. Pengertian kedua, yaitu dari akar katanya shomada, artinya: abadi atau kekal.

Menurut Ibnu Abbas: As-Shomad artinya: Yaitu suatu Dzat yang semua makhluk bergantung kepadaNya untuk mencukupi semua kebutuhan dan permintaannya. Dia adalah Raja yang memiliki kesempurnaan kekuasaannya, Sangat Mulia dengan KemuliaanNya, Sangat Perkasa dengan segala keperkasaanNya, Maha Tahu dengan segala IlmuNya.

Kata al-Shomad tidak boleh diatributkan kepada makhluk, karena sifat ini hanyalah Milik Allah (Tafsir Ibnu Katsir).

Demikian dapat kita pelajari dalam ayat 2 ini kembali kita bertemu dengan kalimat al-jumlah al-mufidah. Insya Allah topik berikutnya kita akan belajar, bentuk perubahan kata kerja sekarang (Present Tense) menjadi bentuk JAZM.

Topik 42: Latihan Surat Al-Ikhlas Ayat 1

Bismillahirrahmanirrahim

Baiklah, kita sudah bahas dalam ayat 1, tentang bentuk al-jumlah al-mufidah, yaitu satu bentuk kalimat sempurna dalam bahasa Arab. Maksud sempurna disini adalah kalimat yang memberikan manfaat/faedah (mufidah).

Telah dijelaskan contoh-contohnya. Disini diberikan contoh lain:
انا مسلم - ana muslim (saya muslim)

Ini adalah kalimat sempurna, karena sudah terdiri dari Mubtada (Subject) dan Khobar (Prediket).

Kalau kita perhatikan contoh diatas, maka Mubtada dan Khobar itu sama sama kata benda. Ada lagi satu bentuk kalimat sempurna yaitu jika terdiri dari Kata Kerja + Pelaku, atau sering disebut Fi'il + Fa'il.

Nah Fa'il dalam bahasa Arab selalu kata benda. Dengan demikian, jika kalimat itu terdiri dari Kata Kerja dan Pelaku, maka telah dikatakan merupakan kalimat sempurna.

Contohnya begini:

هو يكتب - huwa yaktubu : dia sedang menulis
الطالب يكتب - al-tholibu yaktubu : seorang pelajar sedang menulis

Pola kalimat diatas juga disebut pola kalimat sempurna, karena terdiri dari Pelaku + Pekerjaan (Fa'il + Fi'il).

Oh ya, dalam bahasa Arab sangat sering polanya kata-kerjanya yang didahulukan, baru pelakunya. Jadi kalimat kedua itu seringnya ditulis sbb:

يكتب الطالب - yaktubu al-tholibu : seorang pelajar sedang menulis.

Ini pola yang lebih sering dijumpai, walaupun pola pertama tidak salah secara gramatikal.

Yang tidak boleh adalah kalau Pelakunya Kata Ganti (dia, kamu, dst) diletakkan setelah kata kerja.

Jadi pola seperti ini salah:
يكتب هو - yaktubu huwa : dia sedang menulis

Pola ini salah, karena kata ganti pelaku didalam bahasa Arab tidak boleh terletak setelah kata kerja. Kenapa? Disinilah uniknya bahasa Arab. Karena kata kerja bahasa Arab secara langsung telah menyimpan pelakunya.

Jadi kalau kita tulis:
يكتب - yaktubu saja, ini adalah kata kerja yang pelakunya dia (laki-laki), sehingga kalau kita tulis:
يكتب - yaktubu saja, ini sudah cukup yang artinya: dia sedang menulis.

atau misalkan:
أكتب - aktubu : saya sedang menulis
تكتب - taktubu : kamu (laki-laki) sedang menulis
نكتب - naktubu : kita/kami sedang menulis

Dan seterusnya.

Sebagai resume kita telah menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab, kalimat sempurna itu dikatakan memberi manfaat jika telah terdiri dari Mubtada (Subject) dan Khobar (Prediket), atau Fi'il (Kata Kerja) dan Fa'il (Kata Benda Pelaku).

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: Allah itu Esa. Menurut Tafsir Ibnu Katsir, maksud ayat ini adalah, bahwa Allah itu lah Tuhan yang Satu, tidak ada tandingan, tidak ada yang setara dengan Nya. Kata Al-Ahad tidak dapat digunakan untuk diatributkan ke seseorang, karena kata Al-Ahad ini hanya untuk Allah SWT (demikian Ibnu Katsir).

Insya Allah akan kita lanjutkan ke ayat-ayat selanjutnya.

Senin, 24 September 2007

Topik 41: Latihan Surat Al-Ikhlas Ayat 1

Bismillahirrahmanirrahim

Topik kali ini kita Insya Allah akan masuk ke Latihan ayat 1 Surat Al-Ikhlas. Oke baiklah. Ayat 1 berbunyi:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Qul: Katakanlah
Huwa: Dia
Allahu: Allah
Ahadun: Ahad (Maha Esa)

Oke... Ada 2 pola bahasa yang bisa kita pelajari disini:
1. Fi'il Amar (Kata Kerja Perintah)
2. Al-Jumlah Al-Mufidah (bentuk Kalimat Sempurna)

Kata QUL: katakanlah! ini merupakan fi'il amr. Fi'il amr sudah banyak saya berikan contohnya. Saya juga sudah memberikan 6 langkah mudah membentuk fi'il amr. Apa perlu saya ulangi? Jika ya, Insya Allah saya akan ulangi. Jika tidak maka kita lanjut ke topik 2.

Sementara saya asumsi tidak perlu, karena Anda sudah mengerti. Maka kita masuk topik 2, yaitu bentuk Kalimat Sempurna (jumlah mufidah).

Al-Jumlah Al-Mufidah الجملة المفيدة

Jumlah Mufidah atau kalimat sempurna, dalam bahasa Arab mirip dengan definisi kalimat sempurna dalam bahasa Indonesia. Apa itu? Yaitu minimal terdiri dari subject dan prediket. Dalam bahasa Arab, subject itu biasa disebut al-mubtada, dan prediket itu biasa disebut al-khobar. Kalimat sempurna yaitu bila kalimat tersebut sudah memberikan faedah (mufidah).

Jadi definisi kalimat sempurna dalam bahasa Arab adalah suatu kalimat yang terdiri dari mubtada dan khobar, dan memberikan manfaat (artinya bisa dimengerti).

Dari definisi ini maka: kalimat Huwa Allahu Ahadun dapat dipecah menjadi kalimat sempurna:

Huwa Allahu هو الله - Dia (adalah) Allah.

Ini adalah kalimat sempurna, dimana mubtada nya adalah Huwa هو - Dia, dan khobarnya adalah Allahu الله - Allah.

الله احد - Allahu Ahadun : Allah (itu) Maha Esa.

Ini adalah juga kalimat sempurna, dimana mubtada nya adalah Allahu الله dan khobarnya adalah Ahadun احد - Maha Esa.

Ciri-ciri Mubtada

Salah satu ciri-ciri mubtada, adalah bahwa i'rob (harokat akhir) adalah dhommah, atau dhommatain, untuk kata-kata yang sifatnya tidak mabni. Wah wah apa lagi nih... Mabni itu apaan lagi tuh...

Oke, gini gini... Pertama saya jelaskan dulu, bahwa ciri-cirinya dhommah. Coba lihat:

Allahu ahadun. Harokat Allah disini adalah dhommah, sehingga dibaca Allahu (bukan Allaha atau Allahi). Sehingga kata Allahu (dalam Allahu Ahadun), dapat menjadi Mubtada'.

Sedangkan ada kata benda yang sifatnya tetap (mabni). Contoh kata Musa مسى ini adalah mabni. Tidak pernah dia dibaca Musi, atau Musu. Berbeda dengan kata kitaab كتاب ini bukan mabni, tapi berobah-ubah, bisa kitaabu, kitaabi, kitaaba.

OKE... kembali ke lap top... Jadi dalam ayat 1 surat Al-Ikhlas ini kita bertemu dengan jumlah mufidah:

Huwa Allahu Ahadun
Mubtada: Huwa
Allahu Ahadun: Khobar Jumlah (khobar dalam bentuk kalimat)

Sedangkan Khobar Jumlah, juga sebuah kalimat sempurna dimana:
Allahu: Mubtada
Ahadun: Khobar

Gitu ma' cik... Kira-kira ngerti kan????

Insya Allah akan dilanjutkan ke topik berikutnya, mengenai definisi kedua Jumlah Mufidah. Sebagai penutup, jumlah mufidah dalam topik ini maksudnya yaitu kalimat sempurna yang terdiri dari mubtada dan khobar.

Dalam topik berikutnya, ada defisini ke 2 jumlah mufidah itu, yaitu suatu kalimat yang terdiri dari Kata Kerja + Pelaku.

Allahu a'lam.

Jumat, 21 September 2007

Topik 40: Latihan Surat Al-Ikhlas, Tema: Mashdar Lanjutan

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada topik 39, kita telah mempelajari tentang Mashdar yaitu kata dasar, atau kata sumber. Diberikan contoh dari kata dasar ini, dalam pelajaran bahasa Arab yang umum di buku pelajaran bahasa Arab, dapat diturunkan setidaknya 7 jenis kata. Sebelum melanjutkan ke Ayat 1 surat Al-Ikhlas, kita tuntaskan dulu pembahasan Mashdar ini.

Seperti telah disinggung, bahwa kata Al-Ikhlaas الإخلاص adalah Mashdar dari kata أخلص akhlasa. Akar kata dari akhlasa أخلص adalah خلص - khalasa, yang artinya murni, tidak bercampur, atau bersih.

Oke kita ulang-ulangi pelajaran yang telah lalu-lalu.

Disini kita bertemu beberapa hal. Pertama Kata Kerja 3 huruf (atau kata kerja akar), sebagaimana diketahui, kata apapun dalam bahasa Arab, umumnya terbentuk dari 3 huruf. Ini yang sering disebut AKAR KATA.

Jadi apa itu akar kata: yaitu pembentuk kata yang terdiri dari 3 huruf. Hmm mungkin kita agak bingung ya... Ya... saya juga. Hehe... Tapi untuk mudahnya saya buatkan skema sbb:

1. Kata Kerja Dasar(Akar Kata) - kita sebut KKD: خلص - khalasho, artinya murni
2. Turunan pertama dari KKD ini disebut KKT-1 (Kata kerja Turunan 1), yaitu ada penambahan alif didepannya, sehingga menjadi أخلص akhlasho. Sebagaimana telah dijelaskan tugas KKT-1 adalah menjadikan kata kerja yang tidak butuh objek menjadi butuh objek, sehingga kholaso (KKD) yang artinya murni (tidak perlu objek), maka akhlaso (KKT-1) artinya memurnikan (butuh objek).

Itu adalah skema-skema kata kerja. Jika di ringkas, maka bentuknya sbb (ambil contoh فعل - fa 'ala (mengerjakan):
1. KKD: فعل - fa'ala
2. KKT-1: أفعل - af 'ala
3. KKT-2: فعل - fa' 'ala
4. KKT-3: فاعل - faa 'ala
5. KKT-4: تفعل - tafa' 'ala
6. KKT-5: تفاعل - tafaa 'ala
7. KKT-6: إفتعل - if ta 'ala
8. KKT-7: إنفعل - in fa 'ala
9. KKT-8: إستفعل - is taf 'ala

Wuih ribet ya... Kata Kerja dalam bahasa Arab bisa mengambil bentuk banyak, ya!!! Hhmmm sebenarnya kalau hafal bentuk-bentuk ini (yang sering disebut wazan) akan membantu sekali, akan tetapi tidak hafal-pun lama-lama kalau sering dipakai Insya Allah akan hafal dengan sendirinya.

Kembali ke kata khalasa خلص artinya murni. Maka bentuk KKT-1 nya apa? Sesuai dengan wazan diatas, KKT-1 menjadi أخلص - akhlasha (memurnikan).

Oke, trus darimana datangnya Mashdar إخلاص - ikhlash? Nah begini lagi ceritanya.

Kalau tadi kata kerja itu bise mengambil bentuk 9 macam, maka masing-masing dari 9 macam itu ada Mashdar nya sendiri-sendiri.

Contoh:
1. KKD: فعل - fa'ala (mengerjakan), mashdarnya: فعلا - fa'lan (pengerjaan)
2. KKT-1: أفعل - af 'ala (mengerjakan), mashdarnya: إفعال - if 'aal (pengerjaan)
3. KKT-2: فعل - fa' 'ala (mengerjakan), mashdarnya: تفعيل - taf 'iil (pengerjaan)

Dengan melihat contoh diatas, maka dapat disimpulkan mashdar untuk KKT-1 أخلص - akhlasho (lihat contoh 2 diatas), adalah إخلاص - ikhlaash

Demikian telah kita tuntaskan pembahasa Mashdar.

Kamis, 20 September 2007

Topik 39: Idul Fitri tahun 2030

Bismillahirrahmanirrahim

Kapan kita berlebaran tahun 2030? Hehe... Apa tidak kejauhan? Ya, ini hanya sekedar "pancingan" saja, agar kita mau sedikit experiment dengan software gratisan yang ada di Internet.

Sekali lagi software astronomi gratisan andalan saya - HomePlanet, memprediksikan bahwa lebaran tahun ini dengan metode hisab jatuh pada 12 Oktober 2007. Dari berita di detik.com, Muhammadiyah secara resmi mengumumkan Idul Fitri tahun ini jatuh pada 12 Oktober 2007. (http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/
tahun/2007/bulan/09/tgl/20/time/075105/idnews/832131/idkanal/10)

Tinggal sekarang masalahnya metode ru'yat menghasilkan keputusan apa? Prediksi saya, berdasarkan software HomePlanet, maka bulan kemungkinan besar tidak bisa diru'yat. Sama halnya seperti pada tahun kemaren, maka kemungkinan tahun ini, lebaran akan pecah lagi. Ada yang merayakan pada tanggal 12 Oktober 2007, ada yang 13 Oktober 2007.

Jika terbukti nantinya bulan memang tidak bisa di ru'yat, maka bagi para netter, ini info yang semakin meyakinkan untuk bisa menjadikan software gratisan ini sebagai acuan.

Lebaran tahun 2030

Berdasarkan software HomePlanet, bulan baru masuk 2 Februari 2030 jam 23:09 WIB, artinya pada waktu Maghrib (sekitar pukul 18.00 WIB) hilal belum wujud. Dengan demikian Ramadhan diistikmal dan kemungkinan Ormas yang menggunakan Hisab akan berlebaran tanggal 4 Februari 2030.

Bagaimana dengan ru'yat? Jika ru'yat dilakukan tanggal 3 Februari 2030 (tergantung penetapan 1 Ramadhan berdasar ru'yat) maka pada saat Maghrib posisi bulan ada di atas Afrika Timur, yang kemungkinan besar bisa di ru'yat dari tempat-tempat di Pulau Sumatra (paling tidak di Aceh). Dengan demikian Lebaran jatuh kemungkinan pada 4 Februari 2030 (sama dengan yang menggunakan hisab).

Horee kita berlebaran pada hari yang sama.....!!!

Allahu a'lam.

Catatan: untuk analisa Idul Fitri tahun 2007 ini silahkan lihat:
http://arabquran.blogspot.com/2007/08/idul-fitri-2007-akankah-kita-berbeda.html

Rabu, 19 September 2007

Topik 38: Latihan Surat Al-Ikhlas, Tema: Mashdar

Bismillahirrahmanirrahim

Seperti telah dijelaskan dalam topik 37, dan topik-topik sebelumnya, dalam Al-Quran sering kita bertemu dengan Mashdar (kata dasar). Secara tatabahasa apa itu Mashdar? Inya Allah topik ini kan menjelaskan.

Mashdar

Mashdar arti letterleg (benar gak nulis nya ya...?), adalah sumber. Sumber apa? Ya sumber dari sesuatu. Dalam konteks kata, maka masdhar itu dapat dilihat sebagai sumber dari kata, atau ide kata atau kata dasar. Hmm bingung ya? Oke... kita ambil perumpamaan dalam bahasa kita agar mudah memahaminya.

Kalau saya berkata sebuah kata yaitu "penulisan", apa yang terbayang dalam benak Anda? Satu kata "penulisan" itu mengandung banyak ide didalamnya. Contoh: "Saya telah menulis buku dengan pulpen diatas meja". Atau "Saya sedang menulis buku dengan pulpen diatas meja"

Berbicara "penulisan" dalam konteks contoh diatas ada makna (ide) lain yang bisa timbul:
1. Pekerjaan waktu lampau: telah menulis
2. Pekerjaan saat ini / akan datang: sedang menulis
3. Istilah atau nama pekerjaan: penulisan
4. Pelaku: Saya
5. Sesuatu yang ditulis: buku
6. Tempat menulis: meja
7. Alat menulis: pena

Jadi dari satu kata "penulisan" muncul di benak kita setidaknya 7 makna seputar kata "penulisan". Itulah mengapa kita katakan kata "penulisan" itu adalah sumber dari 7 makna tsb. Dengan demikian dapat kita katakan kata "penulisan" itu adalah Mashdar.

Perlu diketahui bahwa, satu kata dalam bahasa Arab dapat melahirkan 7 kata diatas (inilah salah satu "kehebatan" bahasa arab, setidaknya menurut saya). Hanya dengan menghafal satu kata, kita sudah dapat membentuk 7 kata. Contohnya:

Kata kerja (akar kata): كتب - kataba (menulis)
1. Pekerjaan waktu lampau: كتب - kataba : telah menulis
2. Pekerjaan saat ini / akan datang: يكتب - yaktubu : sedang menulis
3. Istilah atau nama pekerjaan: كتبا - katban : penulisan
4. Pelaku: كاتب - kaatibun : penulis
5. Sesuatu yang ditulis: مكتوب - maktuub: sesuatu yang ditulis
6. Tempat menulis: مكتب - maktab : meja
7. Alat menulis: مكتب - miktab : alat menulis (pena)

Lalu apa kaitannya antara Masdhar (kata dasar) dengan akar kata. Nah kadang bagi orang yang baru mulai belajar bahasa arab (seperti saya ini hehe), bisa bingung. Jawaban mudahnya begini. Kalau "penulisan (writing)" adalah kata dasar (Mashdar), maka akar katanya adalah "tulis (to write)". Ya, akar kata adalah kata kerja asli (belum mendapat imbuhan spt awalan, sisipan, atau akhiran).

Yang agak sedikit ekivalen dengan mashdar dalam bahasa Inggris, yaitu Gerund. Gerund dalam bahasa Inggris, adalah kata kerja yang dibendakan. Contoh: menghantam (to hit), Gerundnya: hitting (penghantaman). Contoh lain: membersihkan (to clean), Gerundnya: cleaning (pembersihan).

Jika dilihat maka Masdhar itu secara praktis dapat dikatakan sbb:
pe + kata-kerja-dasar + an.

Atau dalam bahasa Inggris, Mashdar itu secara praktis sbb:
verb I (simple present) + ing (contoh, cleaning, hitting, dancing, dsb)

Sayangnya dalam bahasa Arab, Masdhar itu cara membentuknya ada 2:
1. Yang ada polanya
2. Yang tidak ada polanya

Untuk yang 1. kalau kita tahu kata-kerjanya maka dengan mengikuti pola kita bisa membuat masdharnya. Sedangkan untuk yang 2, karena tidak ada pola, maka satu-satunya cara adalah melihat di Kamus.

Contoh untuk 1, sudah banyak kita jelaskan pada topik sebelumnya. Saya ulangi sbb:

Kata Tauhid, Tarhib adalah Mashdar dengan pola yang sama. Kata Islam dan Ikhlas adalah Masdhar dengan pola yang sama.

Berikut penjelasannya.

POLA KKT-2
Kata Tauhid توحيد
Kata Kerjanya (KKT-2): وحد - wahhada (meng-Esa-kan)
Kata Mashdarnya: توحيد - tauhiid (Peng-Esa-an)

Kata Tarhib ترحيب
Kata Kerjanya (KKT-2): رحب - rahhaba (menyambut)
Kata Mashdarnya: ترحيب - tarhiib (penyambutan)

Pola membentuk masdharKKT-1: Tambahkan TA, dan sisipkan YA

POLA KKT-1
Kata Islam إسلام
Kata Kerjanya (KKT-1): أسلم- aslama (menyerahkan diri)
Kata Mashdarnya: إسلام - Islaamun(penyerahan diri)

Kata Ikhlas إخلاص
Kata Kerjanya (KKT-1): أخلص- akhlasho(memurnikan)
Kata Mashdarnya: إخلاص - Ikhlashun(pemurnian)

Pola membentuk masdhar KKT-1: Harokat Alif awal kasroh, dan sisipkan ALIF di sebelum akhir.

Demikian telah kita jelaskan pengertian Mashdar. Insya Allah akan kita lanjutkan dengan Latihan.

Selasa, 18 September 2007

Topik 37: Latihan Surat Al-Ikhlas

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT, Insya Allah kita akan lanjutkan pelajaran berbahasa Arab. Kita telah menyelesaikan latihan surat Al-Fatihah, kini waktunya kita masuk ke surat Al-Ikhlas. Ada banyak pelajaran pola bahasa Arab yang bisa kita pelajari di surat ini, antara lain al-jumlah al-mufidah (cara membentuk kalimat sempurna), demikian juga mengenai jazm, dan pengertiaan Kaana. Disamping itu kita juga akan mendapatkan vocabulary (mufrodad) baru, Insya Allah.

Baiklah, sebelum memulai Latihan, boleh dong saya sedikit menjelaskan keutamaan dari surat Al-Ikhlas ini. Tujuannya agar kita (saya yakin semua orang muslim sudah hafal surat ini) lebih menghayati akan besarnya keutamaan surat Al-Ikhlas ini.

Maka dari itu pada topik 37 ini rencana saya, hanya akan menyajikan semacam muqaddimah (pengantar) dari Surat Al-Ikhlas ini. Formatnya pertama, saya jelaskan arti kata Al-Ikhlas, bagaimana esensi dari isi surat ini, dan apa keutamaan membaca surat ini. Setelah itu pada topik 38 baru kita mulai dengan Latihan.

Al-Ikhlas الإخلاص
Kata Ikhlas dalam bahasa arab adalah mashdar (kata dasar) dari akhlasa أخلص yang artinya memurnikan, sehingga kata ikhlas artinya murni atau kemurnian atau bisa juga pemurnian (mengenai masdhar silahkan baca topik selanjutnya --topik 38). Salah satu arti ikhlas adalah bersih.

Menurut Prof. Dr. Hamka dalam tafsirnya, dia mengatakan (dalam redaksi lain), bahwa surat Al-Ikhlas ini menyuruh kita untuk memurnikan ke-tauhid-an kita kepada Allah SWT, sehingga keyakinan itu bersih, tidak bercampur dengan syirik. Disamping itu pemurnian itu juga berarti menyingkirkan semua kotoran-kotoran yang merusak tauhid kita kepada Allah SWT. Demikian menurut Buya Hamka.

Tauhid توحيد adalah masdhar (kata dasar) dari wahhada وحد yang artinya meng-Esa-kan, sehingga Tauhid ini maknanya Peng-Esa-an Allah SWT. Artinya Allah itulah Tuhan yang Esa (satu). Dia tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak mempunyai anak. Dia juga tidak dilahirkan, dan tidak ada satupun yang menyerupai-Nya.

Kembali mengutip Prof. Dr. Hamka dalam tafsirnya, dia mengatakan bahwa, maksud surat Al-Ikhlas mengatakan bahwa: Allah tidak beranak (tidak mempunyai anak), artinya bahwa itulah sifat mutlak Tuhan, yang kekuasaannya abadi. Tidak seperti Raja yang kalau sudah tua, dia perlu mewariskan kekuasaannya kepada anaknya. Sedangkan Allah SWT bukanlah makhluk yang ada batas usianya, sehingga perlu punya anak untuk melanjutkan tugas-tugasnya. Demikian menurut Buya Hamka.

Keutamaan Surat Al-Ikhlas

Dikisahkan dalam sebuah hadist, bahwa Rasulullah SAW senantiasa membaca surat Al-Ikhlas dan Al-Kafirun dalam sholat Sunnat Fajar dan Sholat Witir. Hal ini disebabkan kedua surat itu mengumpulkan Tauhid Iman (percaya bahwa Allah itu Esa), dan Tauhid Amal (tidak mengikuti cara beribadah orang kafir). Dalam hadist yang lain dikatakan bahwa surat Al-Ikhlas itu sama dengan 1/3 Al-Quran.

Dalam sebuah hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmidzi, dikatakan:

Dari Abi Hurairah RA, dia berkata: "Aku datang bersama Nabi SAW. Tiba-tiba dia mendengar seseorang membaca "Qul huwaLLAHu ahad". Maka berkatalah beliau SAW: "wajabat وجبت (Wajib)". Lalu akupun bertanya (kepada Rasul SAW): maa wajabat ما وجبت؟ (apa yang wajib)? Rasul menjawab: "Wajib orang itu masuk syurga" (HR. Tirmidzi dia berkata hadist ini Hasan Shohih).

Dalam sebuah hadist lain yang diriwatkan oleh Imam Bukhori, dikatakan:

Dari Aisyah RA, dia berkata: "Nabi SAW suatu ketika mengirim patroli kesuatu tempat. Pemimpin patroli itu pada tiap akhir sholat yang dijaharkan (dikeraskan bacaannya) selalu membaca "Qul Huwa Allahu Ahad". Setelah mereka kembali pulang, mereka kabarkan perbuatan pimpinan patroli itu kepada Nabi SAW. Lalu beliau SAW berkata: "Tanyakan kepadanya mengapa dia berbuat begitu?" Lalu merekapun bertanya kepada pemimpin patroli tsb (mengapa selalu menutup sholat dengan membaca Qul Huwa Allahu Ahad).

Diapun berkata: "Itu adalah sifat dari Tuhan yang bersifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan saya sangat senang membacanya". Mendengar jawaban tsb, Rasulullah SAW pun berkata: "katakanlah kepadanya, bahwa Allahpun senang kepadanya". (HR. Bukhari)


Demikianlah beberapa hal yang dapat kita kutip keutamaan surat Al-Ikhlas. Insya Allah pelajaran topik selanjutnya kita akan latihan menerjemahkan surat ini, dan akan didahului dengan penjelasan tentang mashdar (kata dasar).

Kamis, 13 September 2007

Topik 36: Ramadhon, Shaum, Idul Fitri

Bismillahirrahmanirrahim.

Masih dalam suasana Ramadhon, dan topik Latihan surat-surat pendek Insya Allah akan kita lanjutkan. Akan tetapi ada yang menarik untuk ditulis pada kesempatan kali ini. Ada 3 hal yang ingin kita bahas (secara bahasa) yaitu: Romadhon, Shaum, dan Idul Fitri.

Romadhon رمضان

Kata Romadhon رمضان di dalam kamus artinya Bulan Romadhon. Akan tetapi jika dilacak ke entry lebih diatas di dalam kamus, kata Romadhon ini akar katanya: romidha - yarmadhu - romdhan ( رمض - يرمض), yang artinya sangat panas, atau sangat terik. Jika dilihat dari sejarahnya, dimana bulan ramadhan ini adalah bulan ke 9 dalam penanggalan kalender Hijriah, maka pada bulan ini menurut beberapa pendapat, dulu di jaman Rasulullah, bulan Ramadhon ini sangat terik sekali. Udara diluar sangat panas. Matahari membakar tanah.

Pendapat lain mengatakan bahwa, panas terik (dari akar kata Ramadhon) dengan efek membakar itu, melambangkan bahwa pada bulan Ramadhon ini, waktu untuk pembakaran dosa. Hal ini sesuai dengan keterangan hadist "man shooma ramadhanan imaanan wahtisaaban, ghufiralahu maa taqoddama min dzanbih" (barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhon dengan keimanan dan perhitungan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.

Kalau kita tadabburi, sesuatu yang padas membakar itu terkadang membuat sesuatu menjadi lebih baik. Besi dibakar dan dipanaskan, menghasilkan sesuatu yang lebih baik yaitu keris. Dalam proses pemisahan air dan kotoran, terkadang digunakan panas (proses penyulingan). Dan lain-lainnya.

Menurut kedokteran, puasa itu dapat membakar lemak-lemak yang selama ini menumpuk dalam badan yang berpotensi jadi penyakit. Dengan puasa, nafsu ditahan. Nafsu yang ditahan bisa memberikan efek pembakaran. Akan tetapi yang sukses menahan nafsunya dibulan Romadhon, Insya Allah, akan keluar menjadi orang yang lebih baik.

Shoum صوم

Kata puasa adalah terjemahan dari kata صام shooma yang artinya menahan, atau melakukan puasa. Kata bendanya menjadi berpuasa disebut الصوم - shoum, dan jamaknya الصيام - shiyam. Orang yang berpuasa disebut shooiman صائم , sedangkan orang-orang yang berpuasa disebut shooimuun صائمون atau shooimiin صائمين (untuk laki-laki) dan shooimaat صائمات(untuk perempuan). Itulah sebabnya, kalau ustadz berdiri di mimbar biasanya memanggil "para shooimin dan shooimat".

Dengan akar kata menahan tsb, maka shoum itu menurut ulama adalah menahan dari segala yang membatalkan (yaitu dari segala yang membatalkan ibadah puasa tersebut).

Idul Fitri عيد الفطر

Selesai kita melaksanakan shoum ramadhon selama 29 atau 30 hari, maka datanglah hari raya yang disebut Idul Fitri. Kata 'Iid عيد artinya kembali, sedangkan kata Fitri فطر artinya berbuka (kembali makan). Sebagian berpendapat, kata Idul Fitri artinya kembali dari keadaan menahan dari makan, kepada keadaan yang boleh makan.

Akan tetapi ada yang memaknai kata Idul Fitri ini dengan Idul Fitrah عيد الفطرة . Kata Fitrah sendiri akar katanya sama dengan Fitri, tetapi makna Fitrah sendiri adalah instink atau kecenderungan atau perangai. Sebenarnya makan (Fitri) adalah bagian dari kecenderungan/instink manusia (Fitrah).

Dengan memaknai Idul Fitri ini sebagai Idul Fithrah, maka makna perayaan Idul Fitri adalah kembali ke keadaan asli manusia yaitu kembali Fitrah (kembali kepada instink dasarnya). Hal ini sesuai dengan maksud kata Fitrah dalam Ar-Rum:30

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ

Maka hadapkan wajahmu kepada Agama ini, dengan hanif; (tetaplah diatas) Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia (dengan fitrah itu).

Menurut sebagian pendapat Fitrah (instink) manusia itu terbagi kepada 3 hal:

1. Instink untuk membutuhkan agama
2. Instink untuk mencari penghidupan (berusaha)
3. Instink untuk mencari pasangan hidup (nikah)

Dalam hadist juga dikatakan:
كل مولود يولد على الفطرة، فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه

Tiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, bapaknya lah yang menjadikan dia Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi (HR. Muslim)

Perhatikan bahwa hadist diatas mengatakan bahwa setiap manusia itu lahir fitrah, orang tuanyalah yang menjadikan dia beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Kenapa tidak ada pernyataan "orang tuanyalah yang menjadikan dia beragama Islam?". Karena kata الفطرة dalam hadis diatas, maknanya adalah Islam. Fitrah manusia itu adalah Islam. Dengan demikian hadist tsb bermakna: Setiap manusia yang lahir dalam keadaan Islam.

Jadi Insya Allah, dengan mengikuti apa yang telah disyariatkan dalam menjalankan puasa ini disertai dengan keikhlasan, kita bisa kembali kepada Fitrah, atau Idul Fitrah. Insya Allah.

Allahu a'lam bish-showwab.

Senin, 10 September 2007

Topik 35: Tarhib dan Targhib Ramadhon

Bismillahirrahmanirrahim.

Malam ini (11 September 2007), Insya Allah ormas-ormas Islam termasuk Departemen Agama RI, akan melaksanakan ru'yatul hilal. Jika nanti malam hilal terlihat, maka sesuai hadist, Ramadhon akan dimulai besok. Jika tidak maka Ramadhon akan kita mulai tanggal 13 September 2007. Berdasarkan analisis banyak pihak, Ramadhon akan kita laksanakan tanggal 13 September 2007. Hal ini pun sudah saya tulis dalam artikel:
http://arabquran.blogspot.com/2007/08/idul-fitri-2007-akankah-kita-berbeda.html

Penyambutan, Pengancaman, dan Pe-cintaan

Saat ini dimana-mana masjid alhamdulillah, acara-acara menyambut Ramadhon semakin marak. Banyak masjid yang mengadakan acara tarhib ramadhon. Ya, Ramadhon adalah tamu agung, yang harus disambut. Telah banyak diceritakan dalam hadist-hadist shohih bahwa shalafus sholih, minimal mempersiapkan Ramadhon jauh-jauh hari sebelum Ramadhon datang. Telah mashyur dikalangan kita doa menyambut Ramadhon sejak dari bulan Rajab dan Sya'ban : "Allahumma baariklana fii Rajaab wa Sa'ban, wa balighnaa Romadhon" (ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhon).

Acara-acara penyambutan ramadhon biasa kita sebut Tarhib Ramadhon. Tapi jangan salah mengucapkan kata Tarhib. Yang benar itu mengucapkan Tarhib dengan "ha pedes" (ح) bukan dengan "ha tebal" (هـ), sebab jika salah artinya bertolak belakang.

Kata Tarhib ترحيب dengan "ha pedes" adalah kata dasar (masdar) dari kata rahhiba رحب (menyambut). Sehingga arti tarhib (dengan "ha pedes") sendiri karena harus bersifat kata benda, dapat dikatakan sebagai "penyambutan". Tapi bacanya pakai "ha pedes".

Kata Tarhib ترهيب dengan "ha tebal" adalah kata dasar (masdar) dari kata rahhiba رهب (mengancam). Sehingga arti tarhib (dengan "ha tebal") adalah pengancaman atau ancaman. Tarhib Ramadhon jika dibaca dengan "ha tebal" artinya Ancaman Ramadhon, artinya sesuatu yang membuat orang takut terhadap Ramadhon. Tentulah bukan ini yang dimaksud.

Itulah refotnya kalau dari kecil gak dibiasakan dengan pengucapan huruf Arab dengan makhroj yang benar (seperti saya ini hik hik...). Antara "ha pedes" dengan "ha tebal" ternyata merubah arti 180 derjat.

Kata Tarhib yang sangat berdekatan secara lidah orang Indonesia adalah Targhib. Targhib ترغيب adalah kata dasar (masdar) dari kata raghghiba رغب yang artinya mencintai atau menyukai. Sehingga Targhib bila di-Indonesiakan berarti Pen-cintaan atau Penyukaan, yaitu suatu tindakan yang membuat kita suka. Targhib Ramadhon artinya Penyukaan terhadap Ramadhon.

Bagaimana sholafus sholih ber-Tarhib Ramadhon?

Dikisahkan, seorang Tabi'in bernama Ma'la معلى mengisahkan cerita yang kurang lebih intinya sbb: "Dulu para salafus sholih selalu men-dawam-kan (membiasakan) berdoa selama 6 bulan sebelum Ramadhon. Mereka senantiasa berdo'a : Allahumma balighnii ramadhon, Allahumma balighnii ramadhon, Allahumma balighnii ramadhon (ya Allah sampaikan aku ke bulan Ramadhon). Lalu 6 bulan sisanya mereka mempersiapkan diri untuk menyambut Ramadhon".

Subhanallah, jika di tolal para salafus sholih mempersiapkan diri mereka 11 bulan penuh untuk menyambut kehadiran Romadhon. Disamping itu dalam beberapa hadist disebutkan bahwa di bulan Sya'ban mereka memperbanyak membaca Al-Qur'an dan memperbanyak puasa sunnah.

Semoga ini menjadi motivasi kita untuk lebih meningkatkan penghormatan kita dalam menyambut tamu agung, bulan Ramadhon yang penuh berkah.

"SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA RAMADHON, MOHON MAAF LAHIR BATHIN"

Allahu a'lam bish-showwab

Minggu, 09 September 2007

Topik 34: Erosi Makruh dan Sunnah

Bismillahirrahmanirrahim.

Jika direnungi, masyarakat kita sekarang terkadang telah meng-erosikan makna Makruh dan Sunnah. Kalau tidak boleh meng-klaim masyarakat, setidaknya saya mengakui dalam diri saya sendiri, bahwa selama ini saya meng-erosikan kedua makna kata tsb. Semoga Allah mengampuni saya.

Makruh

Kata makruh mungkin telah banyak orang yang meng-erosi-kan maknanya. Waktu saya SD, dikatakan bahwa makruh itu artinya sesuatu hal yang jika dikerjakan tidak berdosa, jika ditinggalkan mendapat pahala. Diberi contoh makan sambel jengkol atau pete. Dalam konteks ini, merokok oleh sebagian tokoh Islam dianggap makruh, dan oleh sebagian ulama mutaakhirin (kontemporer), merokok dianggap haram, mengingat penelitian mutakhir yang menjelaskan jenis-jenis racun yang dikandung rokok, berikut dampak-dampak buruk yang ditimbulkannya baik untuk si pengisap maupun untuk lingkungannya.

Secara bahasa kata "makruh" مكروه artinya: yang dibenci. Akar katanya adalah "karuha" كره yang artinya benci. Sebelum belajar bahasa Arab, saya pribadi merasa kata "makruh" itu sesuatu yang ringan-ringan saja ditelinga... Padahal secara bahasa artinya sungguh berat, yaitu sesuatu yang dibenci. Dibenci oleh siapa? Ya dibenci oleh agama ini. Semestinya orang-orang para penikmat rokok (walau mereka sekarang masih "berpegang" pada pendapat bahwa itu perbuatan makruh), sadar bahwa sebenarnya seringan-ringannya pendapat bahwa rokok itu makruh, tetap saja perbuatan itu adalah perbuatan yang dibenci (oleh agama ini).

Dalam Al-Quran surat Al-Mu'min ayat 14, Allah SWT berfirman:
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
-- maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepadaNya, walaupun orang-orang kafir membencinya.

Diayat tsb kata karuha atau kariha yang artinya "membenci" dipakai. "Walau kariha al-kaafirrun" - walau orang-orang kafir membencinya. Terlihat disini, kata karuha atau kariha كره dipakai sebagai bentuk "perlawanan" orang-orang kafir atas perintah beribadat kepada Allah SWT. Terasa berat sekali makna kata karuha/kariha disini. Semestinya kata makruh yang artinya sesuatu yang dibenci, juga kira rasakan dengan "berat".

Kalau dilihat di kamus arti lain dari karuha - selain benci, juga berarti perbuatan keji, atau buruk. Artinya makruh itu sama juga dengan melakukan perbuatan keji, atau buruk.

Jadi mulai sekarang, sebaiknya kita tidak meng-erosi-kan makna "makruh".

Sunnah

Kata sunnah pun mungkin kita telah banyak erosi-kan. Waktu saya SD, kata sunnah itu disempitkan menjadi sesuatu hal yang jika dikerjakan berpahala, jika ditinggalkan berdosa. Ya itu benar. Itu adalah defisini fiqih. Sunnah kebalikan dari Makruh, secara defisini fiqih. Akibat dari peng-erosi-an tsb, begitu mendengar kata-kata perbuatan sunnah, orang yang mendengarnya yaaa... alakadarnya saja menanggapi...

Padahal sunnah dalam ilmu hadist disebutkan sebagai sesuatu hal dari Rasulullah SAW yang meliputi perkataan, perbuatan, sifat, dan taqrir (kebolehan) dari Rasulullah SAW. Dalam Al-Quran dikatakan: "laqod kaana lakum fii rasulullahi uswatun hasanan" (sungguh telah ada pada diri Rasulullah contoh teladan yang baik bagi kalian). Artinya semua perbuatan, perkataan, sifat dan taqrir dari Rasulullah itu adalah Sunnah, dan itu adalah contoh yang baik untuk ditiru. Artinya dia bukan hal yang "ringan-ringan" saja. Bahkan para Sahabat RA diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk memegang teguh Sunnah-Sunnah beliau. "Gigitlah Sunnahku dengan gigi gerahammu", demikian Rasulullah perintahkan kepada para Sahabat RA, dengan menggunakan penekanan "dengan gigi gerahammu", ini menggambarkan betapa pentingnya mengerjakan hal-hal yang Sunnah-Sunnah itu.

Secara bahasa kata Sunnah atau Sunnat سنة artinya jalan, tabiat, atau peri kehidupan. Sunnah Rasul artinya jalan yang ditempuh Rasulullah SAW, atau tabiat-tabiat dan peri kehidupan yang ditampilkan Rasulullah SAW. Kata Ahlus-Sunnah, artinya golongan orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah SAW. Sesuai hadist Rasulullah, perkara yang paling minimal untuk kita laksanakan adalah: tidak membenci Sunnah nya. Itulah yang minimal. Kalau tidak bisa atau belum bisa melaksanakan Sunnah, minimal jangan membencinya. Rasulullah SAW bersabda "fa man raghiba 'an sunnatii fa laysa minnii" (barang siapa yang membenci sunnah ku, niscaya dia bukanlah dari golongan ku). Berita paling buruk manalagi bagi seorang muslim, jika seandainya di Yaumil Mahsyar nanti, sewaktu orang-orang berkumpul, lalu kita "diusir" dari Jamaah Rasulullah... "Tidak... engkau bukan jamaah Rasulullah SAW, karena semasa didunia engkau membenci Sunnah nya"... Allahu Akbar... pastilah pada saat itu kesedihan, penyesalan yang luar biasa akan terjadi...?

Allahu a'lam bish-showwab

-- dalam perjalanan Cibubur - Sunter, 10 September 2007

Kamis, 06 September 2007

Topik 33: Mu'jizat

Bismillahirrahmanirrahim

Secara bahasa mu'jizat معجزة akar katanya adalah عجز - 'ajiza yang artinya lemah dan kata turunannya pertama (KKT-I)nya adalah اعجز - a'jaza artinya melemahkan. Sedangkan kata bentukan dari KKT-I itu, yaitu kata benda pelakunya adalah معجز - mu'jizun atau معجزة - mu'jizat (sesuatu yang melemahkan).

Al-Quran disebut mu'jizat bagi manusia karena dia "melemahkan manusia". Salah satu tafsir dari "melemahkan manusia" tidak berarti manusia menjadi lemah, akan tetapi Al-Quran memberitahukan kepada manusia, apa kelemahan-kelemahannya. Salah satu caranya, Al-Quran menantang manusia membuat yang serupa dengan Al-Quran. Dan pasti manusia tidak bisa, karena kelemahan yang terdapat padanya. Di banyak ayat lain, Al-Quran juga mejelaskan bagaimana sifat "lemah" manusia, spt tidak akan mampu menghindari bencana, pasti akan mati, bersifat tergesa-gesa, keluh kesah, dll.

Mu'jizat yang diturunkan kepada Nabi-nabi juga berfungsi untuk "melemahkan" musuh. Karena kata mu'jizat sendiri berasal dari KKT-I (artinya kata kerja yang perlu objek - fi'il muta'addi), maka ada juga pendapat bahwa mu'jizat itu ada, kalau objeknya ada. Salah satu objek mu'jizat Nabi Musa adalah Fir'aun. Sedangkan objek Al-Quran (sebagai mu'jizat) lebih luas lagi yaitu manusia semuanya.

Mengenai mu'jizat Al-Quran, salah satu "teman virtual saya", seorang yang sudah sepuh berasal dari Madura, Bpk. Ruslan Kailani, mengatakan sbb (saya kutip dari Email dia yang dikirimkan ke saya 29 Agustus 2007):

"Sebagian ulama berpendapat bahwa mu’jizat Al-Qur’an terletak pada ketepatan dan keindahan bahasanya, dlm struktur yg terjalin rapat (closely-knit unit) dan maknanya yg sangat tinggi/dalam. Ahli bahasa/sastera Arab abad ke-5H/11M, Abd Al-Qahir Al-Jurjani (lahir di kota Jurjan, Persia sekarang) menulis buku yg khusus membicarakan gaya bahasa AQ, menunjukkan kehebatannya yg tak tertandingi, yg telah membuat para penyair/sasterawan di masa Rasulullah Saw terpukau, sedangkah mereka dikenal mempunyai cita rasa sastera yg sangat tinggi. Judul bukunya “Dala’il Al-I’jaz”, sekaligus mendukung tantangan AQ (seperti yg dikutip mas Rafdian), dgn memberikan semacam tolok ukur, standar, bagi mereka yg mungkin meng-klaim bisa membuat ayat yg serupa dgn AQ.

Al-Jurjani memberikan contoh2 penggunaan kata dan susunan kalimat dari AQ yg mengagumkan, misalnya:

Al-Baqarah:179, “wa lakum fi al-qisasi hayatun”, kata “hayatun” tidak memakai “AL” (definite article), karena yg diselamatkan oleh adanya hukum qisas itu bukan seluruh hidupnya (usianya), melainkan sisanya. Misalnya seseorang yg berpotensi hidup 60 tahun, lalu dibunuh orang pada umur 40, berarti dia kehilangan hidup 20 th. Yg 20 th ini yg diselamatkan oleh hukum qisas (karena pembunuh jadi takut melakukan pembunuhan). Kalau dikatakan “al-hayatun” akan tidak akurat, karena menunjuk pada keseluruhan umurnya (60 th).

Huud:44, “wa qila ya ardu ibla’I ma’aki”, setelah itu disebutkan “wa ghida al-ma”. Kata Al-Jurjani secara tepat dan mengagumkan AQ menggunakan bentuk pasif, “maka airpun di-serap”, yg menunjukkan konsistensinya dgn perintahNya kepada bumi agar menyerap airnya, dan bentuk pasif itu menunjukkan dilakukannya (oleh bumi) perintah tsb. Makna dan konsistensi ini tidak akan muncul kalau kalimatnya dlm bentuk aktif “maka airpun menyerap”. -- Demikian kutipan email Pak Ruslan.

Allahu a'lam bish-showwab

Minggu, 02 September 2007

Topik 32: ASAL-USUL KURSI

Kata "karosi" dalam bahasa Minang artinya "kursi". Misalkan dalam kalimat "karosi tu ampuak bana" (kursi itu empuk banget). Kata "kursi" dan "karosi" dua-duanya diserap ke dalam bahasa Minang dan bahasa Indonesia dari bahasa Arab. Kata "kursi" dalam bahasa Arab maknanya tepat sama dengan "kursi" dalam bahasa Indonesia. Sedangkan jamaknya "kursi" dalam bahasa Arab adalah "karosi". Menarik. Bahasa minang mengambil jamaknya (yaitu "karosi"), sedangkan bahasa Indonesia mengambil tunggalnya ("kursi").

Apa sebabnya? Mungkin karena struktur bahasa Indonesia tidak terlalu "peduli" dengan bentuk jamak. Sebagai contoh, "ulama" dalam bahasa Arab artinya adalah orang-orang yang mempunyai ilmu. Sedangkan satu orang yang memiliki ilmu dalam bahasa Arab disebut "alim". Kedua kata tsb yaitu "alim" dan "ulama" dua-duanya diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hanya saja, terjadi penyempitan makna pada kata "ulama", dan terjadi pergeseran makna pada kata "alim".

Satu orang yang berilmu (khususnya ilmu agama), sering disebut orang di Indonesia ini dengan istilah "ulama". Padahal di bahasa Arab, kata "ulama" itu dipakai untuk sekumpulan orang yang berilmu. Jadi terjadi penyempitan makna (dari kata untuk banyak orang, menjadi untuk satu orang). Seperti disebutkan: " para ulama sepakat bahwa membunuh itu dosa besar". Kata "para ulama" dalam kalimat diatas maksudnya "beberapa ulama". Kalau mau konsisten dengan kaidah bahasa Arab, semestinya kalimatnya berbunyi "para alim sepakat bahwa membunuh itu dosa besar".

Kata "alim" sendiri, yang dalam bahasa Arab adalah bentuk tunggal dari kata "ulama". Di Indonesia kata "alim" ini telah bergeser maknanya. Misal dalam kalimat "dia orangnya alim banget ya…". Maksud "alim" disini adalah "soleh" atau "rajin beribadah". Padahal dalam bahasa Arab, kata "alim" ini artinya "orang yang berilmu".

Ada lagi kata serapan dari bahasa Arab, bentukan dari "alim" ini, yaitu "mu’allim" atau kadang hanya dibaca "mualim". Sewaktu saya naik kapal ferry di selat Sunda, biasanya disebutkan, "dalam pelayaran ini kapal ini dikomandani oleh Mualim kapal [sebuah nama disebutkan]". Kata "mu'allim" atau kadang dibaca "mualim" oleh kita, dalam bahasa Arab artinya "orang yang mengajarkan sebuah ilmu" atau "guru". Tampaknya kata "mualim" dalam kasus ini bergeser artinya menjadi "nahkoda kapal".

Orang Indonesia, mungkin terkenal dengan kesabarannya. Sesuatu yang sedikit dianggap banyak. Contohnya, kata "kalimat" dalam bahasa Arab artinya "sebuah kata". Lalu orang kita menyerap kata tersebut dan "membanyakkan" artinya. Jadilah dalam bahasa kita, kata "kalimat" yang di bahasa Arab artinya "satu kata" di Indonesia artinya susunan "banyak kata".

Sama halnya dengan "seseorang yang punya ilmu" orang kita menyebut "ulama (kumpulan orang berilmu)". Mungkin kita telah menganggap "satu orang yang berilmu" setara dengan "orang-orang yang berilmu". Jadilah kita menyebut "ulama" walau untuk itu hanya untuk satu orang. Dan orang Minang mungkin menganggap: walau baru punya satu kursi, tapi tetap merasa punya "karosi" (banyak kursi).


Asal-usul Asli


Kata "asal-usul" diserap dari bahasa Arab "ushuul" yang artinya pondasi, asal, atau pokok-pokok. Seperti dalam istilah “Ushul Fiqih” yang artinya landasan/dasar-dasar fiqih, atau pokok-pokok fiqih. Dalam bentuk lain (bentuk mufrod atau tunggalnya) kata "ushul" ini menjadi "ashl" yang diserap menjadi "asal". Sedangkan kata "ushuul" diserap menjadi "usul". Oleh orang kita, kedua kata ini diserap dan digandengkan, menjadilah dia “asal-usul”. Mengenai ini mungkin dulu orang-orang kita sewaktu belajar bahasa Arab, cara mereka mengingat adalah dengan mengingat kata tunggal dan jamaknya sekaligus: ashl - ushuul (atau asal-usul). Di kebanyakan tempat pembelajaran Bahasa Arabpun saat ini sepertinya metode ini sering digunakan (yaitu menghafalkan kata tunggal dan digandeng dengan jamaknya sekaligus).

Kata "ashl" jika nasab menjadi "ashli" yang oleh kita diserap menjadi "asli". Kadang kita suka berkata : "aslinya rumah ini bersih lho…" ketika mengatakan sebuah rumah yang jorok tidak terurus karena ditinggalkan pemiliknya. Disini makna "asli" mirip dengan kata Arabnya yaitu "ushl" atau "ashl", yaitu asalnya atau pokok dari rumah itu bersih, karena ditinggalkan jadilah dia kotor.

'Iffah

Orang tua kita kadang kreatif. Kata " 'afaf " artinya "pengendalian diri", seperti dalam doa "Allahumma inna nasalukal huda wattuqo... wal 'afaafa wal ghinaa" yang bermakna: "Ya Allah berilah kami petunjuk, taqwa, pengendalian diri dan kekayaan". Kata " 'afaafa" atau "afaf" yang berarti pengendalian diri diambil jadi nama anak. "Afif" untuk anak laki-laki, "afifah" untuk anak perempuan. Teman saya dari Palembang namanya "apip", ini sama saja dengan "afif". Mungkin orang tuanya dulu berharap dia menjadi orang yang bisa mengendalikan diri.

Mengani doa diatas, saya jadi ingat nasehat orang-orang alim zaman dulu. “Nak... mintalah kekayaan yang banyak ke Allah, tapi jangan lupa dapatkan dulu Afif”. Maksudnya pastilah, bukan “dapatkan dulu suami bernama Afif”, tapi dapatkan dulu kekuatan untuk mengendalikan diri. Dari sini terkandung hikmah yang besar dari doa tsb, mengapa minta “Afaafaa” (pengendalian diri) lebih didahulukan daripada minta harta. Apalah artinya harta banyak, kalau diri tidak bisa dikendalikan?

Kata bentukan yang serupa maknanya dangan “afaf” adalah " 'iffah" yang artinya "menjaga kehormatan diri”. Sifat " 'iffah" ini dalam sejarah ditunjukkan oleh sahabat Abdurrahman bin Auf, sewaktu menolak dengan lembut, tawaran diberikan harta, rumah atau istri dari sahabat Anshor pasca hijrah, untuk membantu perekonomian kaum Muhajirin. Dengan sangat halus dia berkata : "... terima kasih wahai saudaraku atas tawaranmu. Sesungguhnya aku ini pedagang, maka tunjukkanlah aku dimana pasar". Sikap ini mencerminkan sikap yang tidak mentang-mentang, tidak ingin merepotkan orang lain, dan ingin bertumpu pada kekuatan sendiri. Sikap menjaga kehormatan diri ini disebut " 'iffah".

Di beberapa daerah di Indonesia, dialek lokal dicampurkan pada kata " 'iffah" sehingga menjadi "ipah" di Sumatera atau "ipeh" kata orang Betawi. “Ipeeeh… ini Nya’ Babe cariin laki si Apip yee…”

Allahu a ’lam bish-showwab

Cibubur, 3 September 2007