Selasa, 25 November 2008

Topik 86: Apa itu tashrif?

Bismillahirrahmanirrahim.

Istilah Nahwu Shorof sering diidentikkan dengan tatabahasa arab. Dunia seputar bahasa arab, sekurangnya meliputi tiga hal: nahwu, shorof, dan balaghoh. Nahwu membicarakan mengenai hukum-hukum huruf, kata, dan kalimat, dan bagaimana bunyi akhir dari sebuah kata. Sedangkan shorof membicarakan bagaimana perubahan bentuk suatu kata kerja dari bentuk past, present, dan perintah, dan perubahan bentuk kata kerja ke kata benda turunan, dan juga perubahan bentuk kata kerja sesuai pelaku dari perbuatan tsb. Sedangkan balaghoh membicarakan tentang keindakan suatu bahasa, atau lebih memperhatikan aspek sastra dari bahasa tsb.

Inti sari nahwu adalah i'rob. Sedangkan intisari shorof adalah tashrif.

I'rob إعرب berasal dari 'arab عرب, sering disebut dengan "arabization" atau "peng-arab-an". Mengapa disebut "peng-arab-an"? Karena bahasa arab sangat kaya dengan perubahan bunyi akhir dari sebuah kata. Ambil contoh.

أذهب إلى المسجد - adzhabu ilal masjidi : saya sedang pergi ke masjid

Kata "masjid" disini dibaca "masjidi". Kenapa bukan "masjidu", atau "masjida", atau "masjidun" atau bukan "masjidan", ataupun "masjidin"? Karena begitulah aturan nahwu-nya.

Kalau kata masjid itu digunakan dalam kedudukan lain:

المسجد كبير - al-masjidu kabiirun

Disini "masjid" dibaca, "masjidu". Tidak "masjidi", atau yang lainnya. Kenapa bisa begitu? Ya karena begitulah peraturan nahwu arabic fusha (tata bahasa Al-Quran).

Terlihat bahwa, yang jadi fokus adalah cara membaca dari akhir kata, apakah berakhiran, "u" -- seperti "masjidu", atau "i" -- seperti "masjidi". Ini lah yang kita sebut dengan i'rob (arabization).

Shorof

Mengetahui i'rob belum cukup. Kita harus mengetahui shorof. Shorof ini menjelaskan perubahan bentuk kata kerja.

Seperti:

أذهب إلى المسجد - adzhabu ilal masjidi : saya sedang pergi ke masjid

Disini digunakan kata أذهب - adzhabu untuk menekankan bahwa pekerjaan "pergi" itu belum selesai.

Jika sudah selesai, maka kata kerja adzhabu berubah jadi dzahabtu.

ذهبت إلى المسجد - dzhabtu ilal masjidi : saya sudah pergi ke masjid

Ada lagi perubahan dari kata kerja ke kata benda. Contoh:

ذهب - dzahaba : pergi --> kata kerja
ذاهب - dzaahibun : orang yang pergi --> kata benda

Nah perubahan dari bentuk adzhabu ke dzahabtu inilah yang dibahas oleh Shorof. Demikian juga perubahan dari kata kerja ke kata benda ini juga dibahas dalam Shorof.

Dua hal ini (perubahan kata kerja past ke present, dan, perubahan kata kerja ke kata benda) disebut dengan Tashrif Ishtilahi.

Shorof, juga membahas perubahan bentuk kata kerja jika pelakunya berubah. Seperti dalam contoh sebelumnya, untuk pelaku "kami".

ذهبنا إلى المسجد - dzhabnaa ilal masjidi : Kami sudah pergi ke masjid

Perubahan yang seperti ini disebut Tashrif Lughowi (perubahan kata kerja karena berubahnya pelaku).

Demikian sepintas tentang pembahasan, apa itu tashrif.

Wallahu a'lam.

Senin, 24 November 2008

Topik 85: Haram, Hurum, Ihram

Bismillahirrahmanirrahim.

Jawaban untuk pertanyaan Om Im.

Kata Haram, Hurum, Ihram, Muhrim, Mahrum, Mahram, dst berasal dari akar kata yang sama, yaitu:

حرم - haruma : menjadi terlarang

Bagaimana bentuk perubahan, atau tashrifnya?

Kata حرم - haruma, bentuk mudhory' (present tense) adalah يحرم - yahrumu, dengan mashdar ada beberapa bentuk: حرم - hurmun , حرم - hurumun, حرمة - hirmatun, dan حرام - haraamun. Semua ini artinya: menjadi terlarang.

Nah, kata mashdar حرام (haraam) ini yang sering dipadankan dengan sebagai lawan kata dari حلال (halaal)

Contoh penggunaan kata kerja-nya:
حرمت السحور على الصائم : harumat assahuuru 'alaa asshooimi (Sahur itu menjadi terlarang bagi yang berpuasa)

حرمت المرأة على زوجها : harrumat al-mar-a-tu 'alaa zaujihaa (Wanita itu menjadi terlarang bagi suaminya)

Sedangkan kata mashdar حرام - haraam, yang berarti "yang haram" adalah bentuk singular, dan bentuk pluralnya adalah حروم - huruum.

Contohnya:

الارضى الحرام - al-ardh al-haraam : tanah terlarang, tidak dikuasai, neutral zone
البيت الحرام - al-bayt al-haraam : rumah terlarang (Ka'bah), terlarang bagi non-muslim
الشحر الحرام - asy-syahr al-haraam : bulan haram, terlarang berperang
الاشحر الحروم - al-asyhur al-huruum : bulan-bulan haram

Kalau kita teruskan, maka kita dapatkan bentuk isim fa'ilnya (kata benda pelaku) adalah حارم - haarimun, dan isim maf'ulnya (kata benda objek) محروم - mahruum. Dan bentuk isim zaman (kata benda keterangan terjadinya perbuatan) atau isim makan (kata benda tempat terjadinya perbuatan) adalah محرم - mahram. Kata mahram ini artinya "terlarang", juga berarti "orang yang haram dinikahi". Jamaknya محارم - mahaarim.

KKT-1

Bentuk KKT-1 (kata kerja turunan ke 1), adalah:

أحرم - ahrama : mengharamkan, dengan bentuk mudhory' يحرم - yuhrimu, dan mashdarnya adalah إحرام : ihraam.

Kata mashdar ihraam, ini arti asalnya adalah "hal pelarangan", atau "hal pengharaman". Kata ini, dipakai pada umumnya untuk menyebut:

تكبيرة الإحرام : takbiiratul ihraam

Takbir "pengharaman": artinya dari takbir ini sholat dimulai, dan diharamkan melakukan yang membatalkan sholat.

Kata الإحرامihraam juga berarti menyengaja untuk memulai ibadah haji atau umrah. Di Al-Quran dikatakan, jika berhaji diharamkan (di-ihraam-kan) perbuatan rafats (berkata kotor), fusuq (berbuat dosa), dan jidal (berbantah-bantahan).

Kalau kita teruskan bentuk KKT-1 ini maka kita akan bertemu dengan bentuk:

محرم - muhrim (orang yang berihram), atau bisa juga menjadi isim fa'il dari kata ahrama, yang bisa berarti "sesuatu yang mengharamkan".

KKT-2

Bentuk KKT-2 (kata kerja turunan ke 2), adalah:
حرّم - harrama : mengharamkan

Secara fungsi mirip dengan KKT-1. Sedangkan perubahannya:
mashdar: تحريم - tahriim : hal pengharaman
isim fa'il: محرّم - muharrim : yang mengharamkan
isim maf'ul: محرّم - muharram : yang diharamkan

Kata muharram ini kemudian diambil jadi nama bulan, yaitu bulan pertama kalender Islam, yang mengharamkan terjadinya perang dalam bulan tsb.

Sebenarnya masih banyak KKT berikutnya, tapi saya cukupkan 2 KKT saja, dan itupun kata bentukan dari dua macam KKT tsb juga banyak sekali.

Semoga Om Im tidak bingung. Kalau iya, silahkan bertanya lagi.

Wassalam.

Senin, 25 Agustus 2008

Topik 84: Lam Yakun Alladzi

Bismillahirrahmanirrahim.

Pertanyaan dari Pak Amril tanggal 25/8/2008:

Tolong di bahas ayat berikut ini dong,

Lam yakunil .... dst.

Yang artinya:

Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (QS. 98:1).

Saya kesulitan mengartikan "Lam Yakun" Kalau harfianya kan "Tidak akan menjadi(dia sedang/akan membuat menjadi jadi)" tapi kok susah banget nyambungin dengan terjemahan diatas?


Insya Allah saya akan jawab semampunya.

Memang urusan menarjamakan KAANA ini agak sedikit merepotkan di awalnya. Tapi kalau sudah terbiasa, akan dapat "feeling"nya, dalam menarjamah.

LAM YAKUN لم يكن

Secara harafiah, LAM sering diterjemahkan dengan "tidak" atau "belum". Sedangkan KAANA sering ditarjamahkan "adalah".

Nah, saya menduga penanya menganggap YAKUN sama dengan KUN, yang artinya "menjadi". Seperti dalam kalimat KUN, FA YAKUUN (Jadilah! Maka menjadilah dia).

Sebenarnya tidak demikian. Kalau secara harafiah: kata KUN FAYAKUUN itu tarjamahnya: Menjadilah! Maka dia adalah. Hehehe... bingung kan? Oleh karena itu kadang, lebih "aman" kata KAANA itu dibayangkan saja dalam pikiran dengan sbb: seseorang/sesuatu menjadi pada kondisi tertentu diwaktu lampau (KAANA) atau di waktu sekarang (YAKUUNU). Sehingga, KUN FAYAKUUN, dapat dibayangkan: Jadilah! Maka benda itu menjadi dalam kondisi tertentu.

Kalau kita lihat tashrif كان adalah:

كان - يكون : kaana - yakuunu

Kaana, yakuunu sendiri bisa ditarjamah dengan banyak cara:
1. Tidak ditarjamahkan
2. Ditarjamah dengan kata "dulu dia ...", atau "senantiasa dia"
3. Ditarjamah dengan kata "adalah"

seperti: وكان الله عليما حكيما - wa kaana Allahu 'aliiman hakiiman

Bisa diterjemahkan:
1. Dan Allah Maha Tahu lagi Maha Adil
2. Senantiasa Allah Maha Tahu lagi Maha Adil
3. Adalah Allah Maha Tahu lagi Maha Adil

Jika dilanjutkan, ke bentuk fi'il amr (perintah): berubah menjadi

كن - kun : Jadilah (engkau)!

Kalau patokan utama kita KAANA ditarjamah "adalah", maka bentuk perintah dari KAANA menjadi "Adalah!" atau "Senantiasalah!", yang bisa diartikan sebagai perintah untuk menjadi ke dalam sesuatu kondisi. Oleh karena itu fi'il amr-nya (yaitu كن ): selalu diterjamahkan "Jadilah!"

'Ala kulli haal, kata KAANA itu selalu menceritakan tentang kondisi atau situasi.

Jadi kalau yang ditanyakan:
Saya kesulitan mengartikan "Lam Yakun" Kalau harfianya kan "Tidak akan menjadi(dia sedang/akan membuat menjadi jadi)" tapi kok susah banget nyambungin dengan terjemahan diatas?


Maka kalau mau diperhalus, dapat ditarjamah: tidak akan menjadi dalam kondisi sesuatu (dia).

Nah kata (dia) ini perlu di curigai, apakah betul (dia) atau (mereka). Mengapa?

Karena kata kerja dalam bahasa arab jika diawal kalimat tidak menggambarkan jumlah pelaku (selalu orang ke 3 tunggal).

Contoh:

المسلمون يذهبون : al-muslimuuna yadzhabuuna - Orang-orang muslim telah pergi.

Kalau kata kerjanya kita kedepankan, maka kata kerjanya berubah menjadi orang ke 3 tunggal.

يذهب المسلمون : yadzhabu al-muslimuuna - Orang-orang muslim telah pergi.

Jadi dugaan dari Pak Amril:

"Tidak akan menjadi(dia sedang/akan membuat menjadi jadi)"


masih kurang pas, karena kata yang dalam kurung (dia), semestinya dilihat dulu kedepan.

Ternyata didepannya ada kata الذين : alladziina - mereka yang.

Artinya kata YAKUN disini, walau secara individual merujuk kepada (dia - satu orang [he]), akan tetapi karena letaknya diawal kalimat, maka kita lihat dulu, kata kerja YAKUN ini menjelaskan kondisi siapa? Ternyata yang dijelaskan kondisi orang-banyak (mereka [they]). Maka lebih tepat YAKUN ini kita tarjamah: tidak akan mereka menjadi dalam kondisi tertentu. Lihat bahwa subjeknya adalah "mereka", bukan "dia".

Nah, untuk memperhalus tarjamah kita, ingat lagi teori KAANA: Setiap ada KAANA, pasti (atau biasanya selalu) ada MUBTADA (subjek) dan KHOBAR (prediket) setelahnya.

Kalau kita lihat ayatnya:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Maka Mubtada berawal dari alladziina kafaruu min ahlil kitaabi wal musyrikiina.

Itulah mubtada (subjek)nya. Lalu mana Khobar (prediket)nya?

Prediketnya adlaah kata منفكين - munfakkiina : tercerai, terbuka, terlepas, terurai (Kamus Muh. Yunus).

Akar kata dari منفكين adalah فكّ - fakka, yang artinya menanggalkan, melucuti, menceraikan (Kamus Muh. Yunus).

Lalu mendapat imbukah alif nun, menjadi انفكّ - in fakka (LIHAT PEMBAHASAN KKT-6). Kata infakka ini artinya: tercerai, terbuka, terlepas, terurai.

Sebagai tambahan informasi untuk KKT-6, biasanya tarjamah KKT-6 ke bahasa kita mudahnya dengan menambah awalan ter-KataKerja. Contoh: كسر - kasara: pecah, maka انكسر - inkasara: terpecahkan (tidak sengaja pecah).

Nah kata انفكّ - infakka ini jika diteruskan tashrifnya pada bentuk isim fa'il (pelaku) menjadi منفك - munfakki (orang yang terlepas, orang yang tercerai [dari suatu tempat / keadaan]). Dan karena bentuknya jamak maka menjadi munfakkina (orang-orang yang terlepas).

Sehingga, jika di terjamahkan secara lengkap, dengan pemaknaan khobar dan mubtada yang sudah disusun ulang:

Tidak akan menjadi dalam keadaan terlepas (dari keyakinannya) mereka - orang-orang kafir itu yaitu dari gologan ahli kitab dan orang-orang musyrik, sampai datang kepada mereka al-bayyinah.

Demikian kira-kira penjelasannya. Semoga dapat dimengerti.

Allahu a'lam.

Minggu, 24 Agustus 2008

Topik 84: Kuntum Khaira Ummatin

Bismillahirrahmanirrahim.

Ada yang bertanya megenani QS 3:110, khususnya pada bagian "ukhrijat".

Baiklah kita coba bahas, semampu saya ya... hehe...

Ayatnya sbb:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.


Kita fokuskan pada 3 kata awal dulu, kemudian baru masuk ke kata "ukhrijat".

Kuntum khaira ummatin.

Secara letterleij, kata كنتم - berarti You were - atau "Kalian dulu adalah"

Sama seperti kalau saya berkata كنتُ طفلا - kuntu thiflan - I was a child (dulu saya anak-anak).

Lihat kembali mengenai topik kaana, dimana kaana me-rofa'kan mubtada, dan menasabkan khobar. Mubtada (subjek) adalah Ana, jika digandeng dengan kaana, menjadi kuntu. Dan khobarnya adalah thiflun, jika digandeng dengan kuntu menjadi thiflan.

Kembali ke ayat, maka

كنتم خير أمة

khobarnya adalah : idhofah (kata majemuk) khairu ummatin. Karena harus manshub, maka menjadi khaira ummatin.

Oke sekarang kata selanjutnya:

أخرجت للناس

Secara harafiah, artinya : dikeluarkan untuk manusia.

Kata ukhrijat, adalah bentuk pasif dari KKT-1.

KKA (Kata Kerja Asal) yaitu 3 huruf, خرج - kharija - yang artinya keluar.

Sedangkan KKT-1, dibuat dengan menambahkan alif أخرج - akhraja - yang artinya mengeluarkan.

Nah ingat lagi rumus UA-UI, yaitu kalau ingin membentuk suatu Kata Kerja Lampau menjadi pasif, maka gunakan rumus UA, yaitu huruf pertama harokat U dan huruf sebelum terakhir harokat A.

Huruf pertama alif harokat U, dan huruf sebelum terakhir (yaitu huruf ro) harokat A. Sehingga:
AKHRAJA - mengerluarkan, berubah menjadi
UKHRIJA - dikeluarkan

Menjadi ukhrijat (ada ta sukun) karena dinisbatkan kepada khaira ummatin (kata yang muannats)

TAFSIR

Kita mungkin bertanya, secara letterleij AQ mengakakan bahwa: Hai Umat Islam, dulu itu kamu umat terbaik yang dikeluarkan (dilahirkan) untuk manusia, dimana kamu senantiasa mengajak kepada kebaikan, dan mencegah kepada kemungkaran.

Sekarang, pertanyaannya: kalau secara tatabasa kata kuntum, artinya "dulu kalian" atau past-tense, apakah artinya sekarang tidak berlaku lagi?

Ada 2 jawabannya:
1. Secara bahasa, kata kaana (dulu dia adalah) tidak selalu artinya dulu, tapi bisa juga berarti senantiasa. Contohnya, di AQ banyak ayat yang menyebutkan sifat Allah dengan kata kaana:

wa kaanalaahu 'aliiman ghafuuran : dan senantiasa Allah bersifat maha tahu dan maha pengampun.

Sehingga jika dipakai kaidah ini pada ayat tsb, bisa juga di tarjamahkan: Senantiasa kalian umat muslim menjadi umat terbaik... dst

2. Ada juga yang menafsirkan bahwa, ayat tsb memang berlaku untuk masa datang, tetapi bisa dibawa ke masa depan asal, syarat dilakukan. Syaratnya yaitu dijelaskan diayat tsb, bahwa : Kalian akan jadi umat terbaik selama kalian melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar.

Demikian kira-kira penjelasannya. Allahu a'lam.

Senin, 18 Agustus 2008

Topik 83: Sampai ke Aspal

Bismillahirrahmanirrahim.

Gatal juga tangan, di-tanyain di bagian komentar: "edisi Agustus ditunggu" :)

Terus terang agak bingung juga, mau nyampaian apa ya? Karena tidak ada yang nanya topik sebelumnya, jadi saya anggap kali sudah ngerti bahasa Arab.

Oleh karena itu saya isi dengan selingan ringan saja.

"Sampai ke aspal"

Pernah dengar surat ini kan? Pastinya sudah hafal ya, Insya Allah.

Laqod kholaknal insaana fii ahsani takwiim


Ya surat At-Tin.

لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya


لَقَدْ laqod - sungguh sungguh

La disini adalah lam taukid (penegasan), yang artinya sesunggunhya, benar-benar, atau sungguh.

Qod disini berarti: sungguh telah. Biasanya kata Qod, sering diartikan sebagai bentuk penanda dari perfect tense. Artinya pekerjaan (kata-kerja/fi'il) sesudah qod itu telah sempurna di kerjakan.

Nah, laqod, artinya sungguh-sungguh sekali, atawa sungguh-sungguh kuadrat, menandakan berita berikutnya adalah pekerjaan yang sangat serius.

خَلَقْنَا kholaknaa - kami telah ciptakan

Lihat bahwa sesudah qod biasanya (pasti) fi'il madhy. kholaknaa (we had created)

الإنْسَانَ - insaana - insan / manusia

Lihat bahwa, karena posisinya adalah object, maka harokat akhir adalah fathah, insaana, bukan insaani atau insaani

فِي fii - dalam (huruf jer / kata depan)

أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ - sebaik-baik bentuk.

Kata ahsani, awalnya adalah ahsanu, karena setelah huruf jer, maka berubah jadi ahsani, yang artinya paling baik. Wazannya mirip dengan akbaru (paling besar), ajmalu (paling ganteng), dst.

Kata taqwiim, sepinta wazannya mirip dengan tasliim, berarti wazannya adalah af-'ala. Kita cari dikamus pada kata ALIF QOF ALIF MIM.

Dikamus kata ini artinya: berdiri, tegak, panjang (tinggi).

Di AQ terjemahan banyak disebutkan kata takwiim ini artinya: bentuk. Muhsin M Khan, menarjamahkan kata takwiim ini dengan "stature" (panjang/tinggi/postur badan).

Kemudian ayat selanjutnya:

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)


Nah bagi orang Sunda (maaf ya) yang biasa melafalkan f dengan p, ayat diatas dibaca:

tsumma radadnaahu aspala ...

Kata asfal terbaca aspal.

Kemudian Kami kembalikan dia sampai-sampai ke aspal-aspal.


Ya, awalnya manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk, lalu setelah banyak bergelimang dosa maka mereka jatuh ke tempat yang paling rendah (asfal).

Hehe... kata asfal diatas, bukan berarti aspal (cara baca orang Sunda), akan tetapi maknanya dekat.

ASFALA

Kata ini berasal dari kata SIN FA LAM.

Kita mungkin sering mendengar hadist berikut:

اليد العليا خير من اليد السفلى - al yadul 'ulyaa khairun minal yadis sufla

Tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah


Nah kata "diatas" disini adalah "'ulya", dan "dibawah" disini adalah "sufla".

Kata sufla, asfala menunjukkan ke tempat yang rendah, atau dibawah.

Jadi kalau aspal letaknya dibawah, maka yaa... mirip-mirip lah... Aspal itu tempatnya dibawah (rendah), warnanya hitam (melambangkan dosa), permukaannya kasar (hilangnya kelembutan), dst.

Kecuali nanti, entah ada aspal yang letaknnya diatas, warnanya putih, dan permukaannya halus.

Wassalam.

Minggu, 13 Juli 2008

IKLAN

أَوَلاَ يَعْلَمُونَ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ

Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui segala apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka) dan apa yang mereka iklankan (dengan ucapan mereka) (QS 2:77).

Kata yu’linuun, terambil dari kata علن – ‘alana, lalu mendapat tambahan alif menjadi أعلن – a’lana.

Jika wazan ini kita teruskan:

أَعْلَنَ – يُعْلِنُ – إِعْلَانَ : a’lana – yu’linu – i’laan, artinya mengumumkan/memberitahukan/menyatakan (to declare)

Bentuk إعلان – i’laan, diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi IKLAN. Jadi (mungkin) hakekatnya sebuah IKLAN adalah sebuah pemberituan.

Demikian one word, kali ini.

Senin, 16 Juni 2008

Topik 82: Muhrim

Bisimillahirrahmanirrahim.

Kata muhrim sering kita pakai. "Eh awas... nanti whudhu'mu batal... jangan dekat-dekat... bukan muhrim". Muhrim yang dimaksud disini, adalah orang yang haram dinikahi.

Kata yang dekat dengan kata muhrim banyak. Antara lain: kata haram, muharram, mahrum, mahram, dsb.

Haram dan Halal

Haram, حرام adalah lawan dari Halal حلال. Sudah tidak kita perlukan penafsiran apa-apa lagi kan. Haram artinya sesuatu yang dilarang. Halal artinya sesuatu yang dibolehkan.

Dari mana asalnya kata Haram? Perhatikan kata haram dalam bahasa Indonesia itu dalam bahasa Arabnya حرام . Ada 4 huruf kan. HA RO ALIF dan MIM. Nah sebuah kata bahasa Arab umumnya terdiri dari 3 huruf asli (yaitu huruf hijaiyah selain YA, WAW, dan ALIF).

Kalau begitu kata حرام - yang 4 huruf itu, karena ada ALIF, maka huruf aslinya hanya 3, yaitu HA RO dan MIM. Jadilah dia: حرم.

Nah yang jadi soal gimana mbacanya? Dia bisa kita baca harama, haruma, harima. Ada 3 kemungkinan. Lho... kan bisa juga kita baca hurima, hurimi, dsb? Ya Anda benar. Akan tetapi yang umum jadi entri pertama di kamus adalah AWAL dan AKHIR fathah. Dengan demikian tengahnya bisa fathah, kasroh, atau dhommah. So hanya 3 kemungkinan.

Okeh... sekarang kita lihat lagi. Kata حرم , jika mendapat alif sebelum huruf terakhir, maka biasanya kata itu menunjukkan sifat, dan cara bacanya tertentu. Jadi kata حرام , walau tidak ada harokatnya, dibaca haraam. Yaitu sesuatu yg sifatnya haram.

Sama halnya dengan رحمان walau tidak ada harokatnya kita baca rahmaan. Tidak bisa dibaca ruhmaan, atau rihmaan.

Sekarang balik lagi ke kata حرم. Bagaimana cara membacanya, diantara 3 kemungkinan? Hanya ada 1 cara, yaitu lihat kamus... (hik.. only that??? lah iya laaa...)

Di kamus ditulis:
حرم يحرم حرما - haruma yahrumu hurman : haram, terlarang.

Berarti kita bacanya haruma (kata kerja).

Simple kan? Insya Allah ya...

Oke, dari KKL haruma itu, banyak kata yang terbentuk setelahnya, seperti:

حرّم - harrama : mengharamkan (KKT-2)
أحرم - ahrama : berihram (KKT-1)

TAHRIIM dan MUHRIM

Kata ahrama - berihram. Orang yang melakukan ihram disebut محرم - muhrim (isim fa'il). Sama halnya dengan أسلم - aslama : berIslam, maka orang yang Islam disebut مسلم - muslim.

Jadi kalau begitu kata MUHRIM lebih tepat diartikan orang yang berihram (sedang melaksanakan ibadah haji).

Sedangkan kata محرم - mahram, adalah orang yang haram dinikahi.

Dalam AQ sesuatu yang dilarang disebut dengan mahruum محروم .

Kata tahrim artinya pengharaman. Kata ini adalah kata masdhar dari harrama. Tashrifnya adalah: harrama yuharrimu tahriim.

Muharram

Muharram محرم adalah nama bulan. Secara letterleijk, muharram adalah isim maf'ul (objek) dari kata harrama. Jadi kalau harrama mengharamkan, muharrim adalah sesuatu yang mengharamkan, sedangkan muharram artinya sesuatu yang diharamkan. Dari kacamata sejarah bulan muharram adalah bulan dimana berperang dibulan tsb diharamkan.

Kembali lagi ke konteks muhrim dan mahram. Kalau yang dimaksud orang yang tidak boleh dinikahi maka disebut mahram, bukan muhrim. Karena muhrim adalah orang yang berihram. Di Indonesia dan Malaysia (kalo tidak salah), sering dijumpai perkataan muhrim, tapi maksudnya mahram.

Allahu a'lam.

Kamis, 12 Juni 2008

Topik 81: Sallim

Bismillahirrahmanirrahim.

Sudah lama sekali saya tidak menulis. Selain sedang ada tugas-tugas kantor dan kuliah, juga tugas sebagai ayah dari anak-anak yang mulai abg, juga tidak mudah :-) Disamping itu, saya juga ragu apakah pembaca blog ini sudah pada belajar ke gurunya masing-masing, sehingga belajar bahasa arabnya pun semakin bisa lebih kencang. Jika ya alhamdulillah. Mari kita giatkan dan tularkan ke muslim lainnya agar mau belajar bahasa Al-Quran ini. Saya dibilangin oleh seorang saudara saya, bahwa dia mendengar sebuah hadist: ta'allamuu al-lughata al-arabiyata wa 'allimuuha an-naasa (belajarlah bahasa Arab, dan ajarkanlah dia kepada manusia).

Sallim

Mari kita ingat hal yang sederhana. Dulu waktu saya SMA, kadang bertemu orang / saudara, dia berkata ke anaknya: "ayo sallim, ayo nak sallim..." Waktu itu saya hanya sedikit bingung, karena terdengar asing ditelinga. Yang sering diucapkan orang: "ayo nak, salam", atau "ayo salaman nak".

Sebenarnya yang paling tepat memang: "ayo nak, sallim".

Kata sallim, adalah bentuk kata kerja perintah.

سلّمْ - sallim : beri salam!

Kata ini dibentuk dari kata sallama - yusallimu - tasliiman, yang artinya menyelamatkan atau memberi salam.

Tapi jangan pula sampai "double L" nya tak terucap. Nanti artinya lain. Kadang kita sering mendengar: "ayo salim". Nah salim atau saliim, ini artinya selamat atau sentosa, bukan memberi salam. Jadi "ayo nak, salim", beda dengan "ayo nak sallim".

Poster di pintu

Kadang untuk membiasakan seorang anak (saya sih belum mempraktekkan, hanya dengar dari teman), maka di rumah bisa dipasang poster yang ada tulisan arabnya.

اطرق الباب أولا - uthruq al-baaba awwalan : ketok pintu ini terlebih dahulu.

Kalimat ini bisa dipasang di pintu kamar orang tua.

Atau bisa juga dibiasakan, waktu kita mau masuk rumah orang kita suruh anak kita: "uthtruq awwalan" - ketok dulu... dst

Menyuruh anak memperkenalkan diri

Selanjutnya waktu kita menyuruh si anak memperkenalkan diri, bisa kita pakai ekspresi kalimat berikut:

عرّف نفسك - 'arrif nafsaka : perkenalkan dirimu

Kata 'arrif, berasal dari kata 'arrafa yu-'arrifu ta'riifan, yang artinya mengenalkan, atau memberitahukan.

Kata 'arrafa ini kita temukan di Al-Quran surat 47 ayat 6:

وَيُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ عَرَّفَهَا لَهُمْ - wayudkhilhum aljannata 'arrafahaa lahum

dan Allah memasukkan mereka ke dalam surga (yang) Dia telah memberitahukan (tentang)surga itu kepada mereka (sebelumnya).

Pola kata 'arrafa adalah KKT-2, yang biasanya dalam pola bahasa Indonesia me+KataKerja+kan.

Ini yang membedakan 'arrafa (KKT-2) dengan 'arafa (KKT-1)

'arafa (KKT-1) artinya mengenal.

Seperti عرفت محمدا - 'araftu muhammadan : saya kenal muhammad

Sedangkan 'arrafa (KKT-2) artinya mengenalkan (sesuatu) kepada (seseorang)

عرفت هذا الكتاب لك - 'arraftu hadzal kitaaba laka : saya mengenalkan kitab ini kepadamu.

Orang yang 'arif

Kita sering mendengar orang berkata: Ih dia orangnya 'arif banget ya? Nah kata 'arif sudah diserap kedalam bahasa Indonesia, yang sering diasosiasikan dengan arti: orang yang bijaksana.

Sebenarnya banyak sekali kata bentukan dari 'arafa ini, yand diserap ke bahasa Indonesia.

Mari kita lihat tashrifnya:
'arrafa yu'rifu 'irfah 'irfan ma'rifah

3 kata terakhir adalah mashdar.

Kita sering mendengar, "oh dia itu ahli irfan", maksudnya dia itu orang yang punya pengetahuan yang tidak dimiliki orang lain (atau dipersepsikan orang yang bijak, orang yang bisa meramal masa depan, mengerti maksud yang tersembunyi, dsb)

Kita juga sering mendengar, kata ma'rifah, yang artinya pengetahuan. Seperti: "yang pertama kali mesti dipelajari adalah ma'rifatullah", maksud ma'rifatullah adalah pengetahuan tentang Allah.

Ta'arruf

Nah kata ini lagi trend. Ta'arruf, adalah kata 'arafa (KKT-1) yang kemudian berubah bentuk jadi KKT-5 dari wazan fa'-'ala, sehingga menjadi ta-'arrafa, yang artinya berkenalan dengan.

Sebelum proses menikah, didahului dengan proses ta'arruf, artinya proses mengenal calon istri.

Ma'ruf

Ma'ruf artinya sesuatu yang diketahui. Wazannya sama seperti manshur منصور (orang yang ditolong). Kalau orang yang menolong: naashir ناصر . Dengan wazan yang sama, orang yang mengetahui disebut 'aarif عارف.

Mudah kan? Ya, kalau sudah kenal dengan wazan2x tsb maka lebih mudah membentuk kata-kata dalam bahasa Arab. Insya Allah.
(se)Gitu dulu yah...

Rabu, 14 Mei 2008

Topik 80: Jawaban Pertanyaan

Bismillahirrahim.

Wah, tumben pagi ini saya terima Email di mailbox saya. Ada yang nulis di bagian Comments (dibawah) bertanya, pada posting terakhir 1 bulan yang lalu. Memang sudah agak lama saya tidak menulis di Blog ini. Tetapi karena ada pertanyaan, saya sempatkan menuliskan jawabannya.

Yang ditanyakan:
Apa fungsi wazan تفاعل - tafaa 'ala
Apa fungsi wazan استفعل - istaf 'ala
Dan apa beda keduanya.

Oke deh. Rasanya sudah pernah saya bahas, di topik-topik yang lalu ya.

1. Apa fungsi wazan تفاعل - tafaa 'ala

Secara teoritis nahwu, fungsi wazan tafaa 'ala: menunjukkan pekerjaan itu terjadi antara 2 belah pihak (makna saling).

Contoh:
تحاصم الكفار - tahaa-shoma al-kuffaaru : orang-orang kafir itu saling bermusuhan

Atau contoh di AQ: Surat An-naba'
عم يتساءلون - 'amma ya-tasaa-aluun : tentang apakah mereka saling bertanya?

Akan tetapi dalam beberapa hal, wazan ini juga berfungsi untuk:

a. Menunjukkan pengertian pura-pura. Contoh:
تمارض الكسلان - tamaaradha al-kaslaanu : orang malas itu pura-pura sakit

b. Menunjukkan pekerjaan yang terjadi berangsur-angsur. Contoh:
توارد الزائرون - tawaarada adz-dzaa-i-ruuna : para pengunjung itu berangsur-angsur datang.

c. Menunjukkan pengertian aslinya. Contoh:
تعالى الله - ta-'aa-lallahu : Allah ta-'aalaa. Kata ta-'aala disini sama maksudnya dengan 'alaa (Maha Tinggi).

d. Menunjukkan akibat dari suatu perbuatan. Contoh:
باعدت خالدا فتباعد - baa-'ad-tu Khoolidan fa tabaa-'a-da : aku menjauh dari Kholid, maka dia(pun) menjauh.

Oke sekarang pertanyaan ke 2.

2. Apa fungsi wazan استفعل - istaf 'ala

Secara teoritis nahwu, fungsi wazan istaf 'ala: menunjukkan pekerjaan yang meminta sesuatu ke pihak lain.

Contoh:
استغفرت لله - istaghfartu lillahi : Aku minta-ampun kepada Allah

Akan tetapi dalam beberapa hal, wazan ini juga berfungsi untuk:

Memiliki sifat atau menganggap. Contoh:

هو استحل الحرام - huwa istahalla alharaama : dia mengganggap halal (sesuatu yang) haram itu.

Dan beberapa fungsi lainnya. Sementara kita cukupkan sampai disini dulu, pembahasannya.

Minggu, 06 April 2008

Pagi dan Air

Kehebohan nyaris terjadi. Padahal waktu itu masih pagi. Ya sekitar jam 4:00 dinihari. Waktu adzan shubuh masih berapa menit lagi. Biasanya aku sudah mandi, dan siap mengenakan pakaian kantor. Kalau masih sempat sholat tahajjud aku sholat dulu sebelum mandi.

Air di kran tidak ‘ngucur’. Bagaimana mau wudhu? Sementara, tidur semalaman membuat keinginan untuk buang air kecil, besar sekali. Tidak kuat untuk ditahan. Air kencing pagi hari yang beraroma khas ”amoniak” tsb pun terpaksa dibuang ke closet. Untunglah air untuk ”flush” masih tersisa. Cress... Bau ”amoniak”pun sirna.

Tak lama istri dan anak bangun. Mau minum, air aqua di dispenser ternyata habis. Yang mau buang hajat? Wah repot sekali... tidak ada air.

Pagi itu satu cluster perumahanku, mati air. Informasi dari Satpam, air PAM mati, karena semalam ada kebocoran di pipa utama yang mensuplai air ke cluster. Walhasil, petugas PAM semalamam menutup saluran pipa sebelum masuk ke clusterku. Menurut petugasnya kerusakan baru bisa diperbaiki dalam 1 sampai 2 hari. Aduh! Pembantu di lantai 1, nanya: ”Bu... pagi ini ngak nyuci ya…?” ”Ya… mau gimana lagi ?” jawab istriku.

Karena adzan sudah dekat, aku buru-buru nyetir mobil ke Masjid, bawa rombongan. Biar wudhu’ di masjid saja. Di jalan menuju keluar cluster perumahan, ada rumah yang dikunjungi banyak orang. Rupanya disana rumah yang pakai ”double gardan”, selain pakai PAM, juga pakai air tanah yang disedot pompa. Beruntung yang punya rumah sangat dermawan. Berjejer para ibu dan pembantu tetangga-tetangga sekitar mengisi air di ember-ember. Pembantuku pun kusuruh kesana.

Pagi itu benar-benar repot. Air tidak ada buat kebutuhan mandi, nyuci, masak, MCK. Mana toilet jadi bau, karena sebahis ”dipakai” anak-anak. Air minum di dispenser pun habis.

Pagi dan Air di Al-Quran

Mengenai kejadian ini, aku jadi teringat sebuah surat di Al-Quran yaitu surat Al-Mulk (67) ayat 30:

Qul araytum in ashbaha maaukum ghauraan

Kebetulan, aku sudah & sedang kursus bahasa Arab, jadi dikit-dikit bisalah nerjemahin, kalimat tsb. Tarjamah letterleijk:

Katakanlah (hai Muhammad): ”Jelaskan kepadaku jika pada pagi hari air kalian menjadi kering”.

Disini dikatakan: in ashbaha, jika pada pagi hari menjadilah ...

Kata ashbaha satu akar kata dengan kata as-subh (waktu subuh).

Aku merasakan sekali, bagaimana repotnya kehilangan semua air pada pagi hari... Jezz... terasa baget ayat ini... in ashbaha maaukum ghauran... jika pada pagi hari menjadilah airmu kering...

Dalam bahasa Arab, ayat ini bisa ditulis dalam redaksi lain: in kaana maaukum ghauran... jika menjadilah airmu kering...

Mungkin ini hikmahnya, mengapa Allah tidak menggunakan kata kaana, yang secara fungsi dan arti sama dengan ashbaha, yaitu menjadi (to become) akan tetapi ashbaha spesifik untuk kejadian-kejadian yang terjadi pagi hari.

Aku juga ingat lantunan merdu Syaikh Al-Matrud... fa ashbahat ka assariim... Ini tentang kisah orang yang menemukan kebunnya rusak terbakar, kering dan menghitam pada pagi hari. Hanya karena mereka tidak menyebut: Insya Allah. Dan mereka bakhil terhadap si miskin. Dikatakan: fa ashbahat ka assariim - menjadilah diwaktu pagi (kebun mereka itu kering) seperti malam yang sangat gelap. Ya, kebun mereka pagi hari menjadi (asbhahat) kering seperti gelapnya malam, itu sepenggal kisah di surat Al-Qalam (68) ayat 20.

Ya Allah... kenapa musti pagi ini, air dirumahku kering? Kenapa gak ditunda siang hari saja? Biar pembantuku selesai dulu nyuci. Biar anak-anak mandi dulu dan kesekolah. Biar aku bebersih dulu sebelum ke kantor. Biar istriku bisa masak makanan dulu buat makan siang dan malam. Biar toiletku jadi gak bau... Biar... duh... Banyak sekali protes di hati...

Akhirnya, aku sampai pada lanjutan ayat ini.

faman ya’tiikum bi maa-in ma’iin

maka, siapakah yang akan mendatangkan kepadamu air yang mengalir? bi maa-in ma’iin. (air yang mengalir, memancar). Kata ma’iin, satu akar dengan kata mu’iin (yang menolong). Duh... aku memang butuh pertolonganMu ya Allah.. Beri aku air yang ma’iin, dan yang mu’iin.

Pagi itu, benar-benar aku resapi satu ayat di surat Al-Mulk ini.

Qul araytum in ashbaha maaukum ghauraan
faman ya’tiikum bi maa-in ma’iin


Jelaskanlah, jika pada suatu pagi air (ditempatmu) kering? Maka siapakah yang mampu mendatangkan air yang mengalir?

Kamis, 27 Maret 2008

Topik 79: Format Baru

Bismillahirrahmanirrahim

Para pembaca yang dirahmati Allah. Untuk menambah variasi dalam tulisan ini, saya akan coba “permak” format penulisan, Insya Allah mulai tulisan topik ini. Saya akan bagi tiga bagian: (i) Ungkapan, (ii) Kosa Kata Baru, (iii) Al-Quran.

Sampai kapan format ini akan bertahan? Allahu a’lamu. Yang jelas saya mencoba mengubah format penulisan agar tetap segar. Baiklah kita mulai.

I. Ungkapan

السلام عليكم – assalamu ‘alaykum
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته – wa ‘alaykumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh

صَبَاحُ الْخَيْرِ – shobbaahul khair : selamat pagi
صَبَاحُ النُّوْرِ – shobbaahun nuur : selamat pagi juga (jawaban)

مُنْذُ زَمَانٍ لَمْ أَرَاكَ – mundzu zamaan lam arooka : lama saya tidak berjumpa Anda
كَيْفَ حَالُكَ – kaifa haaluk ? : bagaimana kabar Anda?

الحمد لله أَنَا بِخَيْرٍ – Alhamdulillah ana bi khoir: Alhamdulillah saya baik-baik saja

أَنَا سَعِيْدٌ بِلِقَائِكَ – ana sa’iid biliqooik : saya gembira berjumpa denganmu

أَنَا فُجُوْرٌ بِلِقَائِكَ – ana fuujuur biliqooik: saya senang berjumpa denganmu

تَبْدُوْ سَعِيْدًا هَذَا الْيَوْمَ – tabdu sa’iid hadzal yaum : Anda tampak gembira hari ini

شُكْرًا – syukran : terima kasih

تَفَضَّلْ بِلْجُلُوْسِ – tafaddhol bil juluus : silahkan duduk

البَيْتُ بَيْتَكَ – al-baytu baitak : (rumah ini rumahmu) = anggaplah rumah sendiri

هَيَّا نَشْرَبْ الشَيْ – hayya nasyrobis syaay : mari kita minum teh


II. Kosa Kata Baru

سعيد – sa-‘iid : gembira
تفضل – tafaddhol : silahkan
نشرب – nasyrab : minum

III. Al-Quran

Baiklah kita coba lihat tiga kata baru yang kita pelajari tsb di Al-Quran. Kata سعيد – sa’iid, dapat kita tebak, sebagai kata shifat. Loh… kok bisa? Ya tampak dari adanya ya, yang menyebabkan bunyi iii panjang. Contohnya kariim كريم (mulia), kabiir كبير (besar), jamiil جميل (cantik), dsb.

Kalau mau tahu kata kerjanya, maka buang ya nya, sehingga menjadi sa-’i-da سعد.

Kata sa-‘i-da : bahagia (happy, blessed) dalam Al-Quran ada di satu surat 11:108

وأما الذين سعدوا – wa ammal ladziina su-‘iduu : dan adapun orang-orang yang dibahagiakan

Terlihat disini Al-Quran menggunakan bentuk pasif: su-‘i-da (dibahagiakan), atau su-‘i-duu (mereka dibahagiakan).

Sedangkan kata sa’iid (bahagia, kata sifat) ada dalam satu surat di Al-Quran, 11:105

فمنهم شقي وسعيد – faminhum syaqiyyun wa sa-‘ii-dun : dan diantara mereka ada yang syaqiyyun (celaka), ada yang sa-‘ii-dun (bahagia).

Selanjutnya, kata تفضّل - tafadhdhol, adalah kata kerja perintah, yang artinya: Silahkan. Ini adalah bentuk kata kerja turunan ke 5. Akar katanya adalah:

فضل - يفضل : fadhola - yafdhulu : lebih
تفضل - يتفضل : tafadhdhola - yatafadhdholu : memberikan karunia, atau melebihkan
تفضل : tafadhdhol: silahkan

Di Al-Quran akar kata tafadhdhol ini kita jumpai dalam 2 ayat: yaitu surat 13 : 4, dan surat 23 : 24. Akan tetapi bentuk yang dipakai adalah kata kerja asal bukan KKT 2. Contohnya di surat 13: 4:

ونفضل بعضها - wa nufadhdhilu ba'dhohaa : dan kami melebihkan sebagian dari mereka.

Disini yang di gunakan adalah KKT-2. Ingat-ingat lagi fungsi KKT-2 adalah untuk mengjadikan fi'il yang tidak punya objek menjadi punya objek. Dalam rumus praktis, KKT-2 itu adalah kata kerja yang mendapat tambahan me....kan.

Contoh KK asal: fadhola = lebih, maka
KKT-2: fahddhola - yufadhdhilu = me-lebih-kan.

Kata terakhir yang hendak kita bahas adalah: nasyrob = kita minum. Akar katanya adalah syariba - yasyrabu : minum.

Dalam AQ, kata syariba - yashrabu ini kita jumpai dalam banyak tempat.
Contohnya di surat 83:28.

عينا يشرب بها المكربون - 'ainan yasyrabu bihaa al-mukarrabuun: mata air yang a-lmukarrabuun meminum nya.

Terlihat disini yang digukakan adalah KK asal dalam bentuk present (fi'il mudhori').

Dan masih banyak lagi kata yasrabu (minum) ini terdapat dalam AQ.

Sebagai penutup, ayat ini cukup sering digunakan untuk menasehati teman/orang lain agar tidak berlebih lebihan dalam makan/minum, surat 7:31.

كلوا واشربوا ولا تسرفوا - kuluu wasyrabuu walaa tusrifuu : makan dan minumlah, tapi jangan berlebih-lebihan.

Demikian... Insya Allah kita akan lanjutkan pada topik berikutnya.

Rabu, 19 Maret 2008

Topik 78: Kalimat Pasif KKT 5

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Mohon maaf karena satu dan lain hal frekuensi penulisan agak “slow” hehe… Kata salah seorang teman saya, Pak Herry Sudjono: “wah… lagi nyari inspirasi ya…” hehe… Sebenarnya bukan cari inspirasi, karena masih banyak materi di buku-buku bahasa Arab yang bisa diangkat disini untuk dibicarakan, termasuk membahas ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi yang sebenarnya terjadi adalah, saat ini saya merasa agak ”jenuh” untuk menulis. Tapi karena satu dan beberapa email minta saya nulis lagi, menambah semangat saya juga untuk terus menulis. Mungkin ini salah satu maksud mengapa di ayat-ayat AQ, menggunakan KKT 4, wa tawaashaw bil haqqi (tawaashaw, KKT 4 mendapat tambahan TA dan ALIF, yang artinya saling mengerjakan sesuatu). Wa tawaashaw (saling ”washi” – berwasiat), ya kita harus saling berwasiat, saling mengingatkan, saling memberi semangat, untuk tetap istiqomah dijalan kebaikan.

Oke baiklah. Karena hari ini adalah hari libur nasional memperingati Maulid Nabi besar Muhammad SAW, mari kita saling mengigatkan untuk senantiasa mengikuti uswatun hasanatun kita Rasulullah SAW. Ulama-ulama sholih mengingatkan kita untuk giat belajar bahasa Arab, sebagai pilar untuk mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Dinasehatkan:
تعلموا اللغة العربية واعلموها الناس – ta’allamuu al-lughota al-arabiyyata wa ’allimuuhaa an-naasa
Pelajarilah bahasa Arab dan ajarkanlah kepada manusia.

Umar RA juga mengingatkan kita untuk belajar bahasa Al-Quran ini. Dia berkata:
تعلموا الغة العربية فإنها من دينكم – ta’allamuu al-lughata al-‘arabiyyata fainnahaa min diinikum
Pelajarilah bahasa Arab karena bahasa Arab itu bagian dari agamamu

Oke, baiklah kita segera mulai lanjutan pelajaran kita…

Aina washolnaa? (sudah sampai dimana kita kemaren?) Oh ya sudah bahas mengenai Kalimat Pasif. Tapi yang sudah kita bahas itu hanya kalimat pasif dari kata kerja 3 huruf asli. Contoh:

خلق الله الناس – kholaqo Allahu an-naasa (Allah menciptakan manusia)
خلق الناس – khuliqa an-naasu (Manusia diciptakan)

Kalau ada waktu insya Allah kita bisa bahas, ragam kalimat dari satu kalimat aktif menjadi 3 bagian:
1. Kalimat pasif
2. Kalimat berita tentang subject
3. Kalimat berita tentang object

Wah apa lagi nih… Gini Mas… Biar jelas, kita kasih contoh saja ya…

يفتح الموظف باب المكتبة صباحا – yaftahu al-muwazhzhofu baaba al-maktabati shobbaahan
Petugas itu membuka pintu perpustakaan pada pagi hari.

Oke kalimat diatas kalimat aktif kan? Oke... sekarang kita bisa membuat 3 macam kalimat dari kalimat diatas, yaitu:

يفتح باب المكتبة صباحا – yuftahu baabu al-maktabati shobbaahan.
Pintu perpustakaan dibuka pada pagi hari.

Itu kalimat pertama yang bisa kita buat. Sekarang kalimat ke dua, yang menjelaskan tentang subject. Siapa subjectnya : petugas. Ngapain dia? Membuka pintu.

الموظف فاتح – al-muwazzafu faathihun : petugas itu (adalah) orang yang membuka (pintu)

Kalimat ketiga yang kita bisa buat, adalah kalimat tentang object, yaitu pintu.

باب المكتبة مفتوح – baabu al-maktabati maftuuhun: pintu perpustakaan itu terbuka.

Terlihat kan bahwa dari satu kalimat aktif yang sempurna, kita bisa membuat 3 macam kalimat baru. Insya Allah kita akan latihan hal ini lagi di bagian-bagian lain.

Sekarang kita lihat hal yang sedikit lebih sukar. Apa itu?

Oke... Bagaimana membentuk kalimat pasif dari KKT 5. Oh ya KKT 5 itu adalah KKT dengan wazan تفعل – tafa’-‘ala.

Contohnya:

تفكر في – tafakkara fii : memikirkan

تفكر محمد في درسه – tafakkara muhammadun fii darsihi : Muhammad memikirkan pelajarannya.

Bagaimana pasifnya?

درسه تفكر في -darsuhu tufukkira fii : Pelajarannya dipikirkan.

Oke, apa yang bisa dipelajari? Insya Allah mudah. Yaitu, jika kita bertemu wazan KKT-5, maka urutan aktif pasif sbb:

تفعل – tafa’-‘ala (aktif)
تفعل – tufu’-‘ila (pasif)

Contoh lain:

تقدم الوالد أمام ولده – taqoddama al-waalidu amaama waladihi : Bapak itu berjalan mendahului anaknya.

Lihat KKT 5 nya: تقدم – taqoddama : berjalan mendahului

Jika dipasifkan, ingat ingat lagi wazannya: tufu’-‘ila, berarti taqoddama menjadi tuquddima. Sehingga kalimatnya menjadi:

تقدم الولد – tuquddima al-waladu : anak itu didahului.

Oke… Insya Allah mengerti ya… Kita akan lanjutkan lagi dengan topik lain, dengan masih membahas seputar kalimat pasif. Insya Allah.

Minggu, 02 Maret 2008

Topik 77: Kalimat Pasif (lanjutan I)

Bisimillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Setelah off, beberapa lama, kita coba lanjutkan pembahasan mengenai kalimat pasif. Mengapa topik ini yang dipilih?

Ada beberapa alasan. Tetapi yang paling menarik untuk disampaikan adalah, seringkali bagi pemula (saya Insya Allah juga termasuk pemula --don't worry), ada beberapa kesalahan pengertian dari orang yang berbahasa non-arab (Indonesia, Melayu, maupun Inggris) dalam memahami kalimat pasif dalam bahasa Arab.

Ambil contoh: Saya membaca buku.

Kita sudah paham, bahwa Subject, adalah saya, dan object adalah buku.

Kalau dalam bahasa Inggris juga begitu: I read a book.

Kalau dijadikan kalimat pasif, kita juga mengerti, kalimat itu menjadi:
Buku dibaca oleh saya.
A book was read by me.

Tapi dalam bahasa Arab, Subject dalam kalimat pasif tidak boleh muncul. (pakai bahasa gaul sekarang) Dilarang muncul boo'!

Sehingga kalimat diatas, hanya bisa di-Arab-kan sbb:
Buku dibaca.

Sudah. Gitu aja.

Kok bisa?

Ya begitu peraturannya.

Dalam bahasa Arab, sebuah kalimat, jika hendak memunculkan Subject, hendaklah dibuat dalam kalimat aktif.

Subject dalam kalimat pasif, mesti dihilangkan. Kata orang arab, subjectnya: Majhul. Majhul artinya: tidak diketahui.

Jadi kalau kita buat contoh diatas:

انا قرأتُ الكتابَ - ana qora'tu alkitaaba : saya membaca buku.

Jika dibuat pasif:

قُرئ الكتابُ - quri-a al-kitaabu : buku dibaca

Perhatikan hal-hal berikut:
1. Saya sebagai subject hilang (tidak ada dalam bahasa Arab: buku dibaca oleh saya).
2. Kata kerja yang dalam kalimat aktif: qora'tu (ada tu = saya), maka dalam kalimat pasif akhiran tu tersebut hilang.
3. Kata kerja dalam kalimat pasif, mengikuti dhomir dari naibul fa'il. Karena naibul fa'il adalah al-kitaab (huwa), maka kata kerjanya kembali ke KKA (Kata Kerja Asal), yaitu qora-a.
4. Cara membuat pasif qo-ra-a, adalah dengan men-dhommah kan kata pertama, dan meng-kasrah-kan kata sebelum akhir. Sehingga aktif: qo-ra-a, pasif: qu-ri-a.
5. I'rob (harokat akhir) dari al-kitaab, adalah dhommah, sehingga dibaca: quri-a alkitaabu.

Weleh-weleh... banyak yang musti diperhatikan ya...

Ada yang kadang sering terlewatkan. Apa itu?

Perhatikan, bahwa dalam pelajaran tata bahasa Arab, biasanya pertama yang dikenalkan adalah maf'ul (object) harus fathah.

انا قرأتُ الكتابَ - ana qora'tu alkitaaba : saya membaca buku.

Perhatikan, al-kitaab dalam posisi kalimat diatas adalah object. Maka dia fathah, sehingga dibaca al-kitaa-ba.

Nah kadang dalam kalimat pasif seorang pemula akan membuat kalimat sbb:

قُرئ الكتابُ - quri-a al-kitaaba : mereka membaca al-kitaaba.

Kalau ditanya ke pemula tsb: kok dibaca al-kitaaba? Mereka akan jawab, lha kan posisi al-kitaab dalam kalimat tersebut tetap Object (maf'ul). Nah kalau maf'ul kan dibaca fathah.

Nah disini kita harus hati-hati. Walaupun suatu kata benda, berfungsi sebagai Object, tapi lihat dulu, apakah dia ada dalam kalimat pasif. Kalau dalam kalimat pasif, maka Object tsb, berubah menjadi Naibul Fa'il, yang ber-'irob Dhommah.

Sehingga yang benar itu, membacanya:

قُرئ الكتابُ - quri-a al-kitaabu : buku dibaca

Sekarang kita hendak lihat, salah satu contoh dalam Al-Quran surat 84 ayat 21:

وإذا قرئ عليهم القراّنُ لا يسجدون - dan jika dibacakan Al-Quran kepada mereka, mereka tidak sujud.

Lihat disitu, bahwa yang menjadi naibul fa'il adalah Al-Quran, dan i'rob nya adalah dhommah. Sehingga dibaca:

wa idza quri-a alayhim al-quraanu (bukan al-quraana) laa yasjuduun.

Topik selanjutnya akan kita bahas Rumus mudah mengubah kata kerja dari aktif ke pasif. Insya Allah.

Senin, 04 Februari 2008

Topik 76 : Past Perfect Tense

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Waktu pertama belajar kaana كان di hampir semua buku bahasa Arab menjelaskan dengan contoh kalimat sempurna (ada mubtada dan khobar), dan efeknya setelah dimasuki kaana.

Rata-rata diberi contoh seperti ini:

زيدٌ جميلٌ – Zaidun jamilun : Zaid ganteng

dan jika kemasukan kaana menjadi:

كان زيدٌ جميلاً – kaana Zaidun jamiilan: (dulu) Zaid ganteng : Zaid was handsome

Nah, contoh diatas tidaklah sukar untuk dilihat dan dipelajari polanya bukan?

Ada sedikit soal yang muncul. Waktu saya membaca Al-Qur’an terkadang yang muncul adalah kasus yang beda lagi. Ambil contoh, waktu kita mencoba membaca surat 2 ayat 10:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambahkan penyakit (tsb) dan bagi mereka adzab yang pedih disebabkan apa-apa (yang selama ini) mereka dustakan.

Perhatihakan kalimat terakhirnya:

بما كانوا يكذبون – bimaa kaanuu yakdzibuuna

Perhatikan karena kalimat diatas adalah untuk orang-3 laki-laki jamak, maka dipakai كانوا – kaanuu. Coba kita ganti menjadi orang-3 laki-laki tunggal, maka kalimatnya menjadi:

بما كان يكذبُ – bimaa kaana yakdzibu

Nah disini saya bingung. Kenapa?

Dalam buku-buku selalu diberi contoh setelah kaana selalu kata benda (isim), kok di Al-Quran, banyak kalimat setelah kaana itu kata kerja (fi’il).

Nah berikut penjelasannya.

Kalau saya berkata begini:

He studies Al-Quran – Dia belajar Al-Quran

Dalam bahasa Arab :

هو يتعلم القراّن - huwa yata-‘allamu al-qur-aana

Kalau saya berkata:

He used to study Al-Quran : Dia (dulu) biasa belajar Al-Quran

كان يتعلم القواّن – kaana yata-‘allamu al-qur-aana

Nah bagaimana analisis mubtada khobarnya?

Begini mas dan mbak… Masih ingat kan bahwa tugas kaana adalah merafa’kan mubtada menashobkan khobar?

Oke, sekarang kita lihat kalimat diatas:

هو يتعلم القراّن - huwa yata-‘allamu al-qur-aana

Mubtada’ nya : huwa
Khobarnya: yata-’allamu al-qur-aana

Perhatikan khobarnya disini adalah sebuah kalimat sempurna yang diawali dengan kata kerja sehingga sering disebut jumlah fi’liyyah.

Nah kalau khobarnya jumlah, maka pemasukan kaana kedalam susunan mubtada dan khobar dalam kalimat diatas, mengakibatkan khobarnya tidak kena efek apa-apa.

Oke coba kita masukkan kaaana:

كان هو يتعلم القراّن - kaana huwa yata-‘allamu al-qur-aana

Karena setelah kata kerja tidak boleh ada dhomir (kata ganti) pelaku, maka huwa dibuang, sehingga menjadi

كان يتعلم القراّن - kaana yata-‘allamu al-qur-aana : He used to study Al-Qura’an
<>

Dari contoh ini jelaslah bagi kita bahwa, kalau setelah kaana itu ada kata kerja, maka sebenarnya kata kerja itu adalah khobar dalam bentuk fi’il, atau jumlah fi’liyyah.

Lalu apa fungsi Kaana terhadap fi’il tersebut?

Oke menariknya disini.

Kita sudah tahu bahwa dalam bahasa Arab, tenses hanya dibagi 2 saja, yaitu:
- Imperfect Tense (pekerjaan yang masih berlangsung / belum selesai)
- Perfect Tense (pekerjaan yang sudah selesai)

Contohnya:

هو كتب كتابه – huwa kataba kitaabahu : dia (telah selesai) menulis bukunya.
هو يكتب كتابه – huwa yaktubu kitaabahu : dia (sedang) menulis bukunya.

Nah dalam bahasa Inggris kita tahu, jumlah tenses banyak kan? Ada present perfect, ada past perfect dsb. Nah sebenarnya kaana dan yakuunu dapat berfungsi untuk memberi efek waktu terhadap suatu perkerjaan yang mirip-mirip dengan bahasa Inggris.

Contohnya jika saya masukkan kaana.

كان كتب كتابه – kaana kataba kitaabahu : He had written his book
كان يكتب كتابه – kaana yaktubu kitaabahu: He had been writing his book
سيكون كتب كتابه – sayakuunu kataba kitaabahu: He will have written his book
سيكون يكتب كتابه – sayakuunu yaktubu kitaabahu: He will be writing his book

Walau dalam beberapa konteks tidak bisa disamakan persis, tetapi kira-kira kaana bisa difungsikan untuk memberi efek waktu ”had” atau ”will” kepada sebuah kata kerja.

Demikian telah kita bahas fungsi lain dari kaana. Semoga Anda yang biasa belajar tenses bahasa Inggris, juga mengerti bahwa dalam bahasa Arab, bisa juga dibentuk hal yang mirip dengan tenses bahasa Inggris (walau tidak ”pas” 100%).

Allahu a’lam bishshowwaab.

Minggu, 03 Februari 2008

Topik 75: Istaghfir!

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan selesaikan latihan surat An-Nashr. Terakhir kita sudah membahas penggalan pertama ayat 3. Kali ini kita akan tuntaskan pembahasan ayat 3.

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
1. fa sabbih bi hamdi rabbika: maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu.

2. wa istagfir hu : dan minta ampunlah kepada Dia

3. Innahu : sesungguhnya Dia

4. Kaana : Dia adalah

4. Tawwaabaa: Maha penerima tobat.

Kita sudah membahas fasabbih. Topik kali ini kita akan membahas mengenai point 2 sampai 4. Insya Allah.

Oke baiklah.

واستغفره - wa istaghfir hu

Istaghfir, adalah KKT-8, dalam bentuk fi'il amr (kata kerja perintah).

Asalnya adalah sbb:

غفر - ghafara - mengampuni (KK Asal)
أغفر - aghfara - mengampunkan (KKT-1)
غفر - ghaffara - mengampunkan (KKT-2)
استغفر - istaghfara - minta ampun (KKT-8)

Sedangkan perubahan mendatar (tashrif ishtilahi) dari kata KKT-8 tsb adalah:
1. KKL : استغفر - istaghfara (telah minta ampun)
2. KKS : يستغفر - yastaghfiru (sedang minta ampun)
3. Mashdar: استغفار - istighfaar (pengampunan)
4. Isim Fa'il: مستغفر - mustaghfir (orang yang minta ampun)
5. Isim Maf'ul: مستغفر - mustaghfar (orang yang diampuni)
6. Fi'il amar: استغفر - istaghfir (minta ampunlah!)
7. Fi'il nahy: لا تستغفر - laa tastaghfir (jangan minta ampun!)
8. Isim Zaman/Makan: مستغفر - mustaghfar (tempat / waktu memberi ampun)

Jadi terlihat dalam susunan mendatar tersebut perubahan dari kata istighfar menjadi istaghfir.

Hmm... gimana sih cara tahunya bagaimana tashrif (perubahan) suatu Kata Kerja menjadi 8 macam tsb?

Gini, kalau KKT-1 sampai KKT-8, semua kata kerjanya, kalau mau dicari perubahan bentuknya dari KKLnya sampai Isim Zaman/Makan nya, maka perubahan tersebut mengikuti pola. Artinya, kalau kita tahu polanya maka semua kata kerja tsb bisa kita buatkan perubahannya.

Yang repot adalah bagaimana perubahan dari KK Asal. Nah ini perlu melihat di kamus perubahan (tashrif)nya.

Oke, kita sampai pada bagian terakhir.

إنه كان توابا - inna hu kaana tawwaban

Kita sudah pernah membahas bentuk dan tugas Inna, yaitu menashobkan mubtada' dan merafa'kan khobar. Tapi dalam kalimat diatas, kok tidak terlihat ya dimana mubtada, dimana khobarnya?

Kita juga sudah pernah membahas bentuk dan tugas Kaana, yaitu kebalikan dari tugas Inna. Kaana berfungsi merafa'kan mubtada' dan menashobkan khobar. Tapi, ntar dulu... Dalam kalimat diatas dimana mubtada' dan khobarnya?

Insya Allah kita akan bahas mengenai hal ini, dalam topik ini dan satu topik setelah ini.

Oke, baiklah. Kita sudah tahu fungsi Inna. Contohnya:

الله ُعليمٌ - Allahu 'aliimun : Allah Maha Mengetahui

Mubtada: Allahu
Khobar: 'aliimun

Sekarang kalau kita tambahkan Inna:

إن الله َعليمٌ - inna Allaha 'aliimun : (sesungguhnya) Allah Maha Mengetahui

Terlihat disini tugas inna, yaitu merubah Allahu menjadi Allaha.

Sekarang dalam kalimat:

إنه كان توابا - inna hu kaana tawwaban

Mubtada: hu (Dia / Allah) <-- isim dhomir
Khobar: kaana tawwaban <-- jumlah fi'liyyah

Nah ingat lagi, Inna itu menashobkan mubtada. Mubtada'nya mana? Yaitu HU (kata ganti / isim dhomir).

Dalam kaidah bahasa Arab, isim dhomir shifatnya mabni (tetap). Oleh karena itu dia tidak terpengaruh, walau dia kemasukan Inna. Alias fungsi inna, yang menashobkan mubtada tidak "mempan" kena kepada kata ganti.

Asal kalimat tsb adalah:

هو كان توابا - huwa kaana tawwaba : Dia senantiasa Maha Penerima taubat

Lalu kemasukan inna menjadi:

إنه كان توابا - inna hu kaana tawwaban : Sesungguhnya Dia senantiasa Maha Penerima Taubat.

Oke demikian dulu penjelasan mengenai mubtada dan khobar. Insya Allah kita akan bahas bagaimana kasusnya kalau mubtada dan khobar kemasukan kaana, tetapi khobarnya itu fi'il, atau jumlah fi'liyyah (kalimat yang didahului kata kerja).

Minggu, 20 Januari 2008

Topik 74: Pertanyaan dari Malaysia

Bismillahirrahmanirrahim.

Ini sebuah tas guru. Bagaimana kesepakatan antara tas yang muannats, dengan guru yang mudzakkar?

Begitu interpretasi saya terhadap pertanyaan Mbak Zarifah dari Malaysia. Mbak ini, walau baru bergabung jadi pembaca setia blog ini, kadang aktif berkirim pertanyaan. Saya yang juga baru alias pemula ini, kadang merasa ragu untuk menjawab, apa betul apa tidak ya jawaban saya. Tapi anggaplah media blog ini kita jadikan sarana belajar, artinya saya juga belajar dengan pertanyaan tersebut, dan saya berharap ada orang yang ahli berbahasa Arab, dapat memberikan koreksi dari pembelajaran kita disini.

Baiklah pertanyaan Mbak Zarifah sbb:

salam, ada satu soalan ttg feminine and masculine..

hazihi haqibatu al-mudarrisah. wa haqibatuha ..........>soalan nya di sinih! perlu maksuur @ maksuurah? apa perlu di setiap akhiran kata adjective perlu ditambah ta marbutha sekiranya subjek ayat feminine?

maaf, saya tanya saja di sinih, kerna tidak tahu mahu diletak bawah topik berapa.

syukran


Wuih, ada satu masalah disini: beda gaya bahasa, antara Indonesia dan Malaysia. Tapi tak mengape lah.... Saya duga pertanyaan-nya sbb:

Soalan (catatan, orang Indonesia jarang menyebut soalan, tapi soal) sbb:

هذه حقيتة - hadzihi haqiibatun : Ini koper/tas
Atau jika dibaca cara lain: hadzihi haqiibah

هذه حقيبة المدرس - hadzihi haqiibatu al-mudarrisi : Ini koper guru laki-laki
Atau jika dibaca langsung: hadzhihi haqiibatul mudarris.

Jika guru tsb guru perempuan المدرسة - al-mudarrisatu / al-mudarrisah, maka kalimatnya:
هذه حقيبة المدرسة - hadzihi haqiibatu al-mudarrisati /hadzihi haqiibatul mudarrisah : Ini koper guru wanita.

Nah, pertanyaan Mbak Zarifah ini, menanyakan masalah adjective. Sebenarya kasus diatas bukan kasus adjective. Tapi ada 2 kasus:
1. Kasus kata tunjuk muannats هذه - hadzihi atau pakai mudzakkar هذا - hadza
2. Kasus idhofah yaitu: حقيبة المدرس

Jabawan saya spt ini. Kalimat ismiyyah harus dipandang sebagai suatu satuan mubtada dan khobar. Dalam kasus Mbak Zarifah, awal pembicaraan ingin menyatakan: Ini koper.

هذه الحقيبة - hadzihi al-haqiibatu

Mubtada' adalah hadzihi : ini
Khobar adalah al-haqiibatu : sebuah koper

Lihat bahwa koper yang dibicarakan sudah koper yang spesifik (ada tambahan al).

Nah kalau kita lihat, bahwa jenis mubtada' harus cocok dengan khobar. Kalau khobarnya muannats (lihat koper- ada ta marbutah-nya), maka mubtada juga harus muannats. Sehingga kita pakai kata tunjuk (isim isyarah) yang muannats juga.

Sekarang, kalau kita ingin menspesifikkan lagi, bahwa: ini adalah tas milik ustadz, maka kata:

الحقيبة al-haqiibatu, kita ubah menjadi
حقيبة الأستاذ - haqiibatu al-ustaadzi (haqiibatul ustaadz)
حقيبة المدرس - haqiibatu al-mudarrisi (haqiibatul mudarris)

Karena suatu benda yang jenis-katanya perempuan bisa saja dimiliki oleh orang laki-laki, jadi pasangan antara mudhof dengan mudhof ilaih bisa saja beda jenis kata.

Contoh diatas:

حقيبة المدرس - haqiibatu al-mudarrisi (haqiibatul mudarris)

Kata koper - haqiibah adalah muannats, sedangkan mudhof ilaihnya adalah mudzakkar (al-mudarris).

Jadi kesimpulannya kata mudhof dan mudhof ilaih tidak mesti harus sama-sama muannats atau mudzakkar.

Penentuan jenis kata idhofah:

Jenis kata idhofah ditentukan oleh jenis kata Mudhofnya. Tidak peduli mudhof ilaih-nya berjenis apa.

Contoh:

سيارة - sayyaratun : sebuah mobil --> muannats
سيارة الولد - sayyaratul waladi : the boy's car --> sayyaratul waladi = idhofah muannats, karena mudhofnya (sayyarah) adalah muannats.
سيارة البنت - sayyaratul bint : the girl's car --> idhofah muannats

Jika kita tambahkan kata adjective: jamiil (bagus/keren)
سيارة البنت جميلة - sayyaratul bint jamiilatun --> idhofah muannats
سيارة الولد جميلة - sayyaratul walad jamiilatun --> idhofah muannats

Terlihat bahwa adjective nya mengambil patokan (referensi) ke mudhof-nya yitu mobil yang muannats.

المسجد - al-masjid --> mudzakkar
مسجد ريد - masjidu zaidin --> Masjid (milik)Pak Zaid
مسجد ليلي - masjidu layli --> Masjid (milik) Bu Lili

Perhatikan karena idhofaf kata-kata diatas adalah mudzakkar, maka kata tunjuknya harus mudzakkar.

هذا مسجد ريد - hadza masjidu zaidin --> ini masjid (milik)Pak Zaid
هذا مسجد ليلي - hadza masjidu layli --> ini masjid (milik) Bu Lili

Terlihat bahwa kata tunjuknya mengambil patokan (referensi) ke mudhof-nya yitu masjid yang mudzakkar.

Demikian kira-kira penjelasannya. Allahu a'lam.

Kamis, 17 Januari 2008

Topik 73: The ustadz's book: Lanjutan topik Mudhof

Bismimillahirrahmaniraahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan bahas bagian setelah FA SABBIH, yaitu masih di ayat 3 surat Al-Nashr.

فسبح بحمد ربك واستغفره - fasabbih bi hamdi rabbika wa istaghfir hu
maka bertasbihlah dengan pujian kepada Tuhanmu, dan minta ampunlah kepada Dia.

bi hamdi rabbika : dengan pujian kepada Tuhanmu

atau lebih pas lagi secara harfiah:

bi hamdi rabbika : dengan pujian milik Tuhanmu

Dalam tafsir kita baca terjemahannya sbb:
dengan memuji Tuhanmu

Sebenarnya, secara harfiah, terjemahannya itu:
dengan pujian (milik) Tuhanmu

Kenapa begitu?

Karena kata حمد - hamdi (atau hamdin) disitu adalah mashdar, artinya dia kata benda, sehingga terjemahnya adalah pujian, bukan memuji.

Kalau di translate ke bahasa Inggris:

بحمد ربك - bi hamdi rabika : with the praise of your lord

the praise (pujian) disini adalah Noun (Kata Benda).

Oke mari kita bahas struktur بحمد ربك - bi hamdi rabika.

Kembali lagi kita bertemu kasus Idhofah (Mudhof + Mudhof Ilaih). Mudhofnya adalah حمد - hamdi (pujian/praise), dan mudhof ilaihnya adalah ربك - rabbika : Tuhanmu (your Lord).

Dalam bahasa Inggris, polanya Mudhof (of) Mudhof Ilaih, sehingga menjadi:
the Praise of your Lord.

Masalah Definiteness dari Mudhof

Apa itu definitness? Insya Allah Anda masih ingat bukan? Ya, contoh gampangnya kalau saya buat kalimat:
1. I read the book
2. I read a book

Dalam kalimat 1, jika saya berkata "I read the book", maka dalam kepala saya, para pendengar sudah tahu buku mana yang saya maksud. Misalkan, saya ditengah percakapan dengan seorang sahabat:
"Kemaren saya beli buku La Tahzan, lalu saya baca buku itu".
"Yesterday I bought "La Tahzan". And, I read the book".

Karena kata "buku" itu teman saya tahu apa yang dimaksud, maka saya pakai "the book". Artinya, kata "buku" itu sudah spesifik, atau sudah definitive (sudah terdefinisi). Dengan kata lain: definitness-nya sudah terdefinisi.

Dalam kalimat 2: I read a book. Buku disini belum terdefinisi. Bisa buku apa saja.

A cup of coffee

فنجان قهوة - finjaanu qahwatin
finjaanu : secangkir / a cup
qahwatin (qahwah): kopi /coffee

Kata diatas adalah idhofah. Bagaimana status "definitness" nya?

Dalam kaidah bahasa Arab, kata diatas belum definitive, sering disebut Nakiroh.

Mungkin masih bingung ya? Oke saya kasih contoh lain:
بابُ المسجد - baabul masjid : pintu masjid

Bagaimana hukum definitness-nya? Lihat bahwa karena mudhof-ilaih-nya definitiv (Ma'rifah), maka kata diatas dianggap Ma'rifah. Artinya: sudah jelas pintu yang mana, yaitu pintu masjid, bukan pintu rumah. Kalau di translate ke bahasa Inggris, menjadi "the masjid's door", atau "the door of the masjid", bukan "the door of a masjid". Karena dalam hal ini masjid nya pun sudah definitif.

Masalah akan timbul, kalau kita mau bilang spt ini:
A door of the Masjid (sebuah pintu dari masjid itu)

Kalau kita pakai:
باب مسجدٍ - baabu masjidin : a masjid's door (a door of a masjid)

Padahal kita tahu bahwa masjidnya sudah definitif (the masjid). Saya melihat dalam hal ini grammar dari bahasa Inggris, tidak apple-to-apple dengan bahasa Arab. Artinya tidak bisa dipadankan langsung.

Jika yang mau ditekankan "a door", bahwa pintu dari masjid itu belum pasti (apakah pintu depan, pintu samping atau pintu belakang), maka dalam bahasa Arab, bisa kita berkata spt ini:
بابٌ من ابواب المسجد - baabun min abwaabil masjid (a door from the masjid's doors)

sebuah pintu dari pintu-pintu masjid itu.

Disini masjidnya sudah jelas, tetapi pintu yang dibicarakan belum jelas (belum terdefinisi).

Sebagai ringkasan:
1. Idhofah disebut definitif (ma'rifah), jika mudhof ilaihnya definitif
2. Idhofah disebut belum definitif (nakiroh), jika mudhof ilaihnya belum definitif

Tambahan contoh:
كتاب أستاذ - kitaabu ustaadz : sebuah kitab milik seorang ustadz
idhofah diatas adalah nakiroh.

كتاب الأستاذ - katabbul ustaadz: kitab (tertentu) milik seorang ustadz
idhofah diatas adalah ma'rifah.

سيارة خالد - sayyaratu khaalid : Mobil Khalid (Car of Khalid). Karena semua nama orang dihukumi sebagai definitif, maka idhofah dalam contoh ini adalah ma'rifah.

قلم إستاذي - qolamu ustaadzii: pena ustadzku (the pen of my ustadz). Karena semua kata benda yang diimbuhi pemilik spt: ustadzku (my ustad), adalah defititive, maka idhofah dalam kasus ini adalah definitif (ma'rifah).

Kembali ke ayat 3 surat An-Nashr ini:
بحمد ربك - bi hamdi rabbika: the praise of your Lord: Pujian (milik) Tuhanmu, maka ini juga dihukumi sebagai ma'rifah. Hal ini disebabkan kata rob (Tuhan) ditempeli oleh kata-ganti milik (ka)--> rabbika (Tuhanmu).

Demikian penjelasan tambahan mengenai kasus Ma'rifah / Nakirohnya suatu Idhofah.

Senin, 14 Januari 2008

Topik 72: Latihan Surat An Nashr ayat 3

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita lanjutkan pembahasan kita pada surat An Nashr ayat 3. Baiklah kita tuliskan ayat tersebut.

فسبح بحمد ربك واستغفره - fasabbih bi hamdi rabbika wa istaghfir hu
maka bertasbihlah dengan pujian kepada Tuhanmu, dan minta ampunlah kepada Dia.

Itu penggalan pertama ayat 3 surat An Nashr. Mari kita ulang-ulang pelajaran-pelajaran yang sudah lalu-lalu.

ف - fa : maka

سبح - sabbih : bertasbihlah !

Disini kita jumpai bentuk fi'il amr (Kata Kerja Perintah). Dari mana tahunya Mas? Masih ingat 6 langkah mudah membuat fi'il amr kan?

Kata sabbih سبّح, ini mengikuti wazan (pola) fa'-'a-la فعّلَ . Kok bisa sih? Ya lihat saja ada tasyid (ّ ) di huruf kedua kan. Berarti ini KKT-2. Masih ingat kan, karakteristik KKT-2? Oke, sekedar refreshing, KKT-2 ini:
- membuat fi'il yang tidak memerlukan objek menjadi memerlukan objek. Contoh dalam bahasa kita: Saya lari. Nah "lari" tidak memerlukan objek. Tetapi kalimat: Saya melarikan istri saya. Nah kata "melarikan" disini adalah KKT-2, karena dia butuh objek.
- membuat fi'il yang memerlukan satu objek menjadi memerlukan 2 objek. Contoh dalam bajasa kita: Saya baca buku. Nah "baca" disini memerlukan satu objek. Tetapi kalimat: Saya membacakan buku buat anak saya. Nah kata "membacakan" disini perlu dua objek, yaitu "buku" dan "anak saya". Kata "baca", adalah KK Asal, sedangkan "membacakan" adalah KKT-2.

Tashrif Ishthilahi

Kita munculkan istilah baru disini: Tashrif Ishthilahi. Apa itu? Tashrif Istilahi yaitu suatu urutan perubahan kata dari KKL, ke KKS, ke Masdhar, dst. Urutan yang umum begini:

(baca dari kanan)
Zaman < Makan < Fi'il Nahy < Fi'il Amr < Maf'ul < Fa'il < Mashdar < KKS < KKL
Kita belum bahas mengenai Isim Makan (tempat), dan Isim Zaman (Waktu). Mungkin yang belum juga, bagaimana membetuk fi'il nahy (kata kerja Larangan). Yang lain sudah kita bahas sebenarnya secara terpisah-pisah.

Oke Isim Makan (tempat) dibentuk dengan menambah mim.
Contoh :
طعم - tho-'a-ma : makan
مطعم - math-'am : tempat makan (restoran)

لعب - la-'i-ba: bermain
ملعب - mal-ab : tempat bermain

Insya Allah kita akan bahas lagi jika bertemu ayat tentang isim makan ini.

Kita kembali fokus ke tasrif isthilahi.

Kita sering mendengar kata: Ayo ber-tasbih. Nah kata TASBIIH itu adalah mashdar dari sabbaha.

Tashrif ishthilahinya begini:
سبّح - sabbaha : telah melakukan tasbih (KKL)
يسبح - yusabbaha: sedang melakukan tasbih (KKS)
تسبيح - tasbiih : pentasbihan (hal yang berhubungan dengan aktifitas tasbih) (Mashdar)

Hal yang sama dapat kita lihat:
سلّم - sallama : menyelamatkan
تسليم - tasliim : penyelamatan

كفر - kaffara : mengkafirkan
تكفير - takfiir: pengkafiran

رغب - raghghaba : mencintai
ترغيب - targhib : pe-cinta-an (cinta)

قدر - qoddara : men-takdir-kan
تقدير - taqdiir: pentakdiran (takdir)

Dan seterusnya, bentuk mashdar dari KKT-2.

Kembali ke ayat 3, kata sabbih, adalah perubahan ke bentuk fi'il amr. Kalau kita ambil contoh diatas.

Tashrif ishthilahinya begini:
سبّح - sabbaha : telah melakukan tasbih (KKL)
سبح - sabbih: bertasbihlah ! (fi'il amr)

Hal yang sama dapat kita lihat:
سلّم - sallama : menyelamatkan
سلّم - sallim : selamatkanlah !

كفر - kaffara : mengkafirkan
كفر - kaffir : kafirkanlah !

رغب - raghghaba : mencintai
رغب - raghghib : mencintailah !

قدر - qoddara : men-takdir-kan
قدر - qoddir : takdir-kanlah !

Dan seterusnya.

Sallim

Kadang kita sering mendengar ustadz mengatakan kepada Anaknya:
Ayo Sallim nak... Sallim sama kakek!

Nah kata Sallim disini, maknanya adalah berikan salam. Lho bukannya diatas dikatakan Sallim : Selamatkanlah ! Kok menjadi "bersalamanlah !".

Begini ashal-ushulnya.

Satu kata kerja dalam bahasa Arab, bisa punya banyak makna. Tergantung rangkaian huruf jar yang nempel ke dia. Memang betul asal kata sallama - yusallimu (KKT-2) dari kata:

سلم - salima (KKL) yang artinya: selamat, atau sentosa

Nah KKT-2 dari KKL tsb adalah:

سلّم - sallama (KKT-2) yang artinya: menyelamatkan.

Tetapi kata tersebut akan berubah artinya kalau ada huruf jer yang nempel ke dia, seperti:

زيد سلّم على الأستاذ - Zaid sallama 'alaal ustaadz : Zaid menyalami ustadz.

Terlihat kalau kata Sallama diikuti 'alaa, maka artinya menjadi : memberi salam. Dari sinilah asalnya, mengapa perintah untuk memberi salam itu : Ayo Sallim!

Beberapa hal yang mungkin dari sallama, adalah:
سلّم على - sallama alaa : memberi salam kepada
سلّم من - sallama min : menyelamatkan (sesuatu) dari
سلّم إلى - sallama ilaa: memberikan (sesuatu) ke
سلّم بـ - sallama bi: rela akan (sesuatu)

Terkadang artinya bertolak belakang:
رعب عن - raghiba 'an : benci kepada
رغب في - raghiba fii: cinta kepada

Makna-makna tersebut adalah sima'i (apa yang didengar), atau ditentukan dalam kamus. Tidak terlalu banyak kata kerja yang seperti tersebut (walau tidak bisa dikatakan juga terlalu sedikit). Kebiasaan menggunakan akan melatih kita mengerti makna yang cocok.

Seperti kata raghiba 'an, terdapat dalam satu hadist yang poluper:
فمن رغب عن سنتي فليس مني - fa man raghiba 'an sunnatii falaysa minnii : siapa yang benci kepada Sunnahku (cara hidup Rasulullah SAW), maka dia bukan bagian dariku (bukan bagian dari umat Rasulullah SAW).

Kata raghiba sendiri secara sendiri artinya: mencintai. Tapi kalau bertemu dengan 'an, dia berubah menjadi: membenci.

Sama dengan bahasa Inggriss kan
look = melihat, look after = mengawasi, look for = mencari, dst.

Sebagai penutup untuk topik ini, kita kembali ke ayat 3 surat An-Nashr:

فسبح بحمد ربك واستغفره - fasabbih bi hamdi rabbika wa istaghfir hu
maka bertasbihlah dengan pujian kepada Tuhanmu, dan minta ampunlah kepada Dia.

Kita telah membahas kata FA SABBIH (SABBIH Fi'il Amr : Kata Kerja Perintah). Insya Allah kita akan lanjutkan ke kata "bihamdi" dst.

Rabu, 09 Januari 2008

Topik 71: Haniifan Musliman

Bismillahirrahmanirrahim

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita seharusnya masuk ke Latihan ayat 3 surat An-Nashr. Tapi sebelum kita masuk kesitu kita tambahkan sedikit contoh-contoh mengenai isim haal.

Singkat cerita: Kira-kira beberapa tahun yang lalu, anak saya bertutur kepada saya tentang sekolah dan teman-temannya. Salah satu yang dia sebutkan adalah bahwa dia punya teman namanya Hanifan (yang kadang kalau di-absen dilafadzkan oleh gurunya: Haniifan).

Waktu itu nama: Haniifan, agak asing ditelinga saya. Kita biasa mendengar nama: Hanif (lurus). Ada teman saya namanya Muhammad Hanif (Muhammad yang punya sifat Lurus). Tapi, Haniifan? Nah ini baru kali ini saya dengar. Waktu itu saya belum begitu mengerti dengan bahasa Arab.

Dalam hati saya hanya ingat: Hmmm... kata Haniifan, itu mungkin diambil dari doa Iftitah:

وجهت وجهي للذي فطر السماوات والأرض حنيفاً مسلماً - wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samaawaati wal-ardha haniifan musliman.

Waktu itu saya belum bisa meng-artikan teks bahasa Arab (sekarang masih belum juga sih, tapi alhamdulillah sudah bisa dikit-dikit ngeraba-raba ding...) hehe.

Kala itu saya hanya hafal ejaan (latin)nya. Kalau disuruh nulis Arabnya, weleh saat itu pasti gak bisa deh.

Nah, beberapa waktu yang lalu setelah membaca tentang isim haal, dan ciri-cirinya maka saya sekarang jadi faham, bahwa Haniifan dan Musliman itu adalah isim haal.

Jadi jika diartikan secara letterlijk:

وجهت - wajjahtu : aku menghadapkan
وجهي - wajhiya: wajahku
للذي - lil ladzi: kepada Zat yang
فطر - fathara: telah menciptakan
السماوات - as-samaawaati: banyak langit
و - wa: dan
الأرض- al-ardha: bumi
حنيفاً - haniifan: dalam keadaan lurus
مسلما - musliman: dalam keadaan berserah diri (muslim)

Aku menghadapkan wajahku kepada Zat yang telah menciptakan banyak lagit dan bumi dalam keadaan lurus (lagi) berserah diri.

Nah, terlihat dari Doa Iftitah diatas, bahwa kata Haniifan, adalah isim haal (kata keterangan). Kata Haniifan (dalam keadaan lurus) itu dinisbatkan kepada "Aku". Demikian juga kata Musliman (dalam keadaan berserah diri), juga dinisbatkan kepada "Aku". Artinya kedua kata tersebut menjelaskan kondisi "Aku" sewaktu menghadapkan "wajahku" kepada Allah SWT.

Lihat bahwa ciri-ciri isim haal terpenuhi dimana, yang tampak jelas: dua kata tersebut harokat akhir fathatain (plus ada tambahan alif diakhir), dan juga jika kata itu dibuang maka kalimatnya tetap menjadi kalimat sempurna (ada fi'il+fa'il, atau ada mubtada+khobar).

"Ooo... Nama anak itu bukan Hanif, tapi Haniifan, itu mungkin maksud orang tuanya, agar anaknya itu senantiasa dalam kondisi yang lurus", begitu gumam saya dalam hati. Penekanannya adalah "dalam kondisi", karena itu isim haal. "Hmm... pasti bapaknya jago bahasa Arab", kata saya.

Sebagai penutup kita ambil contoh dalam Al-Quran yaitu kata WAHN (Lemah)

وهن - wahnun atau wahn adalah kata sifat (isim shifat) yang artinya lemah.

Di Al-Quran diperintahkan agar manusia menghormati dan berbuat baik kepada Ibu & Bapak. Ibu kita telah mengandung dalam keadaan "wahnan 'alaa wahnin" - lemah diatas lemah (lemah yang super).

حملته أمه وهنا على وهنِ - hamalat hu ummuhu wahnan 'alaa wahnin

hamalat: Dia (ibu) telah mengandung (manusia)
wahnan : dalam keadaan lemah
'alaa wahnin: diatas lemah

Sekali lagi terlihat bahwa kata wahnan diatas, ada tambahan alif dan harokat akhir fathhatain, maka dapat "dipastikan" ini adalah isim haal (kata keterangan terhadap kondisi si Ibu pada saat hamil).

Demikian telah kita tuntaskan pembahasan mengenai isim haal ini. Insya Allah kita lanjutkan dengan Latihan surat An-Nashr kembali.

Senin, 07 Januari 2008

Topik 70: Latihan Surat An-Nashr ayat 2, Adverb

Bisimillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah, kita akan masuk ke ayat 2 surat An-Nashr. Pada ayat ini kita akan fokuskan pembahasannya mengenai Kata Keterangan.

Baiklah kita mulai. Ayat 2 berbunyi:

ورأيتَ الناس يدخلون في دين الله أفواجا- wa ra-ai-ta an-naasa yad-khuluuna fii diini Allahi afwaajan

wa= dan
ra-aita= engkau lihat
an-naasa= manusia
yadkhuluuna= mereka memasuki
fii= kedalam
diini Allahi= agama Allah
afwaajan= secara berbondong-bondong (dalam keadaan berbondong-bondong)

Oke baiklah ada dua point yang bisa kita lihat disini yaitu:
diini Allahi (dibaca sambung diinillahi), yaitu mengulang mudhof, dan
afwaajan= secara berbondong-bondong, yaitu Kata Keterangan.

دين الله - Diinillahi

Kata ini adalah mudhof. Dimana mudhofnya دين - diini dan mudhof ilaih nya الله - Allahi. Ingat lagi ciri-ciri mudhof yaitu:
- Jika ada 2 kata benda yang berdekatan,
- Kata benda pertama nakiroh (umum, dengan ciri tidak ada tanwin)
- Kata benda kedua harokat akhir kasrah, atau kasratain

Kata diatas memenuhi 3 syarat tsb, yaitu:
- ada 2 kata benda yang berdekatan (betul)
- Kata benda pertama nakiroh (betul), jadi bukan ma'rifah (الدين-ad-diini)
- Kata benda kedua harokat akhir kasroh (betul), jadi Allahi, bukan Allahu, atau Allaha.

Baiklah, kita akan tinggalkan dulu mengenai mudhof. Ada topik lain dari mudhof ini yaitu mengenai ke ma'rifatan atau ke-nakirohan mudhof (bingung kan?) Hehe... Insya Allah kita bahas pada topik berikut. Sekarang kita masuk ke kata keterangan.

Isim Haal

Apa itu isim haal? Lihat contoh diatas.

ورأيتَ الناس يدخلون في دين الله أفواجا- wa ra-ai-ta an-naasa yad-khuluuna fii diini Allahi afwaajan

afwaajan: secara berbondong-bondong, atau dalam bahasa Inggris-nya in-crowd.

Nah, kata afwajaan ini adalah isim haal, yaitu isim yang menjelaskan suatu keadaan (al-haal) dari Subjek, maupun Objek. Hmm... entar... cerna dulu nih...

Agak sedikit beda dengan bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, kata keterangan itu yang biasa disebut adverb, biasanya melekat kepada kata kerja. Artinya menjelaskan bagaimana pekerjaan itu dilakukan, atau kualitas dari pekerjaan itu.

Seperti:
Talk to me softly please : Tolong dong, bicara sama saya dengan lembut.

Nah softly itu menjelaskan talk (bicara). Dalam bahasa Inggris kata keterangan "dengan lembut" itu dinisbatkan (di-referensi-kan) kepada kata kerja (verb/fi'il) talk.

Dalam bahasa Arab, kata keterangan itu umumnya dinisbatkan kepada pelaku/subjek (fa'il) atau kepada objek/korban (maf'ul).

Coba perhatikan lagi:

يسافرون إلى جاكرتا أفواجا - yusaafiruuna ilaa Jakarta afwaajan
Mereka berpergian ke Jakarta secara berbondong-bondong.

Atau dalam Al-Quran, sewaktu Allah memerintahkan Adam & Siti Hawa & Para Iblis turun:

احبطوا منها جميعا - ihbithuu minha jamii'an
Turunlah (kalian) dari syurga ini secara bersama-sama

Terlihat disitu kata جميعا - jamii'an adalah isim haal.

Lalu bagaimana kita tahu bahwa itu isim haal?

Ini beberapa ciri isim haal:
1. Kalau isim haal itu dibuang, maka kalimatnya masih kalimat sempurna (ada fi'il+fa'il, atau ada mubtada'+khobar)
2. Isim haal itu nakiroh (tidak ada al), dan nashob (fathhatain)
3. Isim haal itu biasanya dibentuk dari kata sifat (yang berasal dari isim fa'il, isim maf'ul, maupun kata benda yang dianggap sifat).

Contohnya begini:

ذهب إلى البيت راكبا - dzahaba ila al-bayti raakiban
Dia pergi ke rumah itu dengan menaiki kendaraan.

Lihat bahwa kata راكبا - raakiban, adalah isim fa'il dari KKL ركب - rakaba (menaiki, menunggangi). Perhatikan bahwa kalau kata raakiban itu dibuang, maka kalimatnya tetap menjadi kalimat sempurna:

ذهب إلى البيت - dzahaba ila al-bayti
Dia pergi ke rumah itu

Ini adalah kalimat sempurna, karena telah ada fi'il (pergi) + fa'il (dia), walau fa'il disini adalah fa'il tersembunyi.

Terkadang, isim haal itu dinisbatkan kepada Objek, contoh:

جلق الله الإنسان ضعيفا - khalaqa Allahu an-insaana dho'iifan

Allah menciptakan manusia dalam keadaan lemah.

Kata dho'iifan disini adalah isim haal (kata keterangan) bagi Objek (yaitu manusia).

Kata dho'iif disini adalah kata shifat yang menyerupai isim fa'il. Nah, karena dia nashob, tidak ada al, dan layak diberi makna: dalam keadaan ...., maka dia adalah isim haal.

Sederhanya sih sebenarnya mengetahui apakah dia isim haal atau bukan.

Oke ya, demikian dulu sudah kita selesaikan penjelasan dari ayat 2 surat An-Nashr ini.

Insya Allah kita akan lanjutkan dulu dengan kembali membahas masalah mudhof, tapi kali ini lebih seru lagi.