Kamis, 06 September 2007

Topik 33: Mu'jizat

Bismillahirrahmanirrahim

Secara bahasa mu'jizat معجزة akar katanya adalah عجز - 'ajiza yang artinya lemah dan kata turunannya pertama (KKT-I)nya adalah اعجز - a'jaza artinya melemahkan. Sedangkan kata bentukan dari KKT-I itu, yaitu kata benda pelakunya adalah معجز - mu'jizun atau معجزة - mu'jizat (sesuatu yang melemahkan).

Al-Quran disebut mu'jizat bagi manusia karena dia "melemahkan manusia". Salah satu tafsir dari "melemahkan manusia" tidak berarti manusia menjadi lemah, akan tetapi Al-Quran memberitahukan kepada manusia, apa kelemahan-kelemahannya. Salah satu caranya, Al-Quran menantang manusia membuat yang serupa dengan Al-Quran. Dan pasti manusia tidak bisa, karena kelemahan yang terdapat padanya. Di banyak ayat lain, Al-Quran juga mejelaskan bagaimana sifat "lemah" manusia, spt tidak akan mampu menghindari bencana, pasti akan mati, bersifat tergesa-gesa, keluh kesah, dll.

Mu'jizat yang diturunkan kepada Nabi-nabi juga berfungsi untuk "melemahkan" musuh. Karena kata mu'jizat sendiri berasal dari KKT-I (artinya kata kerja yang perlu objek - fi'il muta'addi), maka ada juga pendapat bahwa mu'jizat itu ada, kalau objeknya ada. Salah satu objek mu'jizat Nabi Musa adalah Fir'aun. Sedangkan objek Al-Quran (sebagai mu'jizat) lebih luas lagi yaitu manusia semuanya.

Mengenai mu'jizat Al-Quran, salah satu "teman virtual saya", seorang yang sudah sepuh berasal dari Madura, Bpk. Ruslan Kailani, mengatakan sbb (saya kutip dari Email dia yang dikirimkan ke saya 29 Agustus 2007):

"Sebagian ulama berpendapat bahwa mu’jizat Al-Qur’an terletak pada ketepatan dan keindahan bahasanya, dlm struktur yg terjalin rapat (closely-knit unit) dan maknanya yg sangat tinggi/dalam. Ahli bahasa/sastera Arab abad ke-5H/11M, Abd Al-Qahir Al-Jurjani (lahir di kota Jurjan, Persia sekarang) menulis buku yg khusus membicarakan gaya bahasa AQ, menunjukkan kehebatannya yg tak tertandingi, yg telah membuat para penyair/sasterawan di masa Rasulullah Saw terpukau, sedangkah mereka dikenal mempunyai cita rasa sastera yg sangat tinggi. Judul bukunya “Dala’il Al-I’jaz”, sekaligus mendukung tantangan AQ (seperti yg dikutip mas Rafdian), dgn memberikan semacam tolok ukur, standar, bagi mereka yg mungkin meng-klaim bisa membuat ayat yg serupa dgn AQ.

Al-Jurjani memberikan contoh2 penggunaan kata dan susunan kalimat dari AQ yg mengagumkan, misalnya:

Al-Baqarah:179, “wa lakum fi al-qisasi hayatun”, kata “hayatun” tidak memakai “AL” (definite article), karena yg diselamatkan oleh adanya hukum qisas itu bukan seluruh hidupnya (usianya), melainkan sisanya. Misalnya seseorang yg berpotensi hidup 60 tahun, lalu dibunuh orang pada umur 40, berarti dia kehilangan hidup 20 th. Yg 20 th ini yg diselamatkan oleh hukum qisas (karena pembunuh jadi takut melakukan pembunuhan). Kalau dikatakan “al-hayatun” akan tidak akurat, karena menunjuk pada keseluruhan umurnya (60 th).

Huud:44, “wa qila ya ardu ibla’I ma’aki”, setelah itu disebutkan “wa ghida al-ma”. Kata Al-Jurjani secara tepat dan mengagumkan AQ menggunakan bentuk pasif, “maka airpun di-serap”, yg menunjukkan konsistensinya dgn perintahNya kepada bumi agar menyerap airnya, dan bentuk pasif itu menunjukkan dilakukannya (oleh bumi) perintah tsb. Makna dan konsistensi ini tidak akan muncul kalau kalimatnya dlm bentuk aktif “maka airpun menyerap”. -- Demikian kutipan email Pak Ruslan.

Allahu a'lam bish-showwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar